Mengenai Saya

Foto saya
I love writing, learning, cooking, watching some cartoon films such, sponge Bob, naruto, the legend of Aang.

Jumat, 25 September 2020

TEACHER'S WRITING COMPETITION FROM VIERA

 COMPETITION

PENTINGKAH KESEPAKATAN BELAJAR?

Oleh Diah Trisnamayanti


Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang kata lainnya Belajar dari Rumah (BDR) merupakan pola belajar dengan menggunakan tekhnologi terbarukan di bidang telekomunikasi.  Ketika pandemi Covid-19 makin bertambah kasus kemunculannya, Pembelajaran Jarak jauh menjadi sasaran utama dalam pelaksana pendidikan di tingkat dasar, menengah sampai dengan pendidikan tingkat tinggi. Ramai-ramai melaksanakan virtual meeting, ramai-ramai membuat konsep sendiri tentang virtual meeting dan banyak hal lain yang berhubungan dengan sekolah, pendidikan dibuat dengan gaya teknologi kekinian. Banyak kalangan menyoroti hal yang harus dan tidak diajarkan saat pandemi tetapi tidak kokoh mencuat. Polemiknya akhirnya hanya berkisar pada pulsa atau kuota internet.

Jika ditilik dari sisi positifnya, teknologi memang sangat membantu sekali memajukan pendidikan. Baik siswa maupun guru semakin meningkat kemampuan berbasis teknologi. Penggunaan virtual classroom, virtual meeting, searching material, video or film maker, audio visual meningkat. Sudah pasti perusahaan provider dan penyedia konten juga bersaing ketat, meningkatkan dan menambah fitur-fitur terbarunya. Niatnya, Fitur-fitur tersebut mempermudah pengguna karena kecanggihanya. Tetapi terkadang keadaan sebaliknya, justru menyulitkan, ternyata apa yang ingin disampaikan saat tatap muka langsung menjadi tidak menyenangkan. Tidak tepat sasaran akhirnya. 

Apalagi setelah PJJ ini ditetapkan untuk dilaksanakan sampai pandemi mereda. Guru harus membuat materi-materi sekreatif mungkin agar tidak membuat jenuh siswa selama PJJ. Metode blended learning diprogramkan agar membuat pembelajaran memiliki waktu yang singkat, efektif dan menyenangkan. Guru secara otomatis berusaha keras menambah ilmu di bidang yang bukan dunianya. Ini tantangan besar bagi guru-guru. Guru, yang berharap besar pada peningkatan kualitas anak didiknya, akan mengejar kemampuan teknologi pembuatan video atau film singkat, menjadi editor video atau film singkat pembelajaran, berakting, menjadi pemeran utama atau menjadi produser. Tujuannya tidak lain selain menjadi pusat perhatian siswa dari apa yang semestinya diajarkan sehingga tetap mengarahkan siswa, setidaknya sedikit mengubah cara pandang siswa tentang sesuatu dengan konsep yang menyenangkan. Siswa juga diharapkan tetap memiliki rasa persaingan, perjuangan, keshabaran, ketegaran dan ketelitian dalam menghadapi dilema kehidupan. Tetapi tidak semuanya memiliki pemikiran yang sama,  antara satu guru dengan guru yang lain maka kecenderungan blended learning sulit terwujud sempurna karena tiap guru terkadang memiliki konsep berbeda sementara blended learning membutuhkan kerjasama dan kekompakan diantara pelaku pembelajaran ini. Miris memang, itulah yang ada di masyarakat pendidikan di era digital masa pandemi. Bagaimana selanjutnya agar pembelajaran benar-benar blended antara ilmu dan perilaku?

Sejujurnya, mengajarkan sikap sopan, disiplin, tegar, bershabar, bertanggungjawab, menghargai orang lain; lebih sulit dibanding mengajarkan kalimat bahasa Inggris dengan rumusan tertentu; tapi bukan berarti tidak bisa. Sementara guru yang diharapkan mengembangkan serta mendidik sikap-sikap itu harus menggunakan virtual sekarang ini; saat sebelum pandemi saja, guru sulit sekali menekankan dan mendidik sikap sopan, disiplin, tegar, bershabar, bertanggungjawab, menghargai orang lain secara langsung. Mengapa? Karena mereka punya latar belakang pendidikan orang tua dan lingkungan yang berbeda, pemberian Reward dan Punishment karena tidak bersikap  sopan, disiplin, tegar, bershabar, bertanggungjawab, menghargai orang lain tidak dilakukan dengan kesepakatan yang sama. Sehingga pemikiran kritis mereka juga tidak terbangun secara utuh di pergaulan mereka.  Sudah bisa dipastikan, pendidikan karakter disiplin, peka, toleran, shabar, kuat, tegar dan sopan yang tidak akan muncul dalam keseharian mereka di lingkungan rumah, lingkungan bermain, dan lingkungan belajar, inilah yang mempersulit guru mengajarkan pendidikan karakter pada virtual classroom. Apalagi guru tidak bisa menembus ruang dan waktu bersamaan pada semua siswanya; Sebagai contoh, di group chat Whatssapp, banyak siswa yang justru bertanya atau bercerita tanpa memperkenalkan diri dahulu, dan berbicara dengan guru, layaknya teman sendiri, menggunakan kata gaul cenderung tidak menghormati kepada yang lebih tua kadang kala. Tidak salah, tetapi mengendalikannya butuh waktu dan proses yang lumayan lama. Kembali Guru ditantang menyelesaikan proses yang tidak sederhana seperti tangkapannya. Mendidik membutuhkan proses yang tidak sebentar dan mentransfer ilmu membutuhkan taktik dan strategi, inilah yang tidak didiskusikan diantara guru mata pelajaran. Diskusi hanya berkisar bagaimana performance videonya, bukan diskusi tentang kira-kira apa yang ada di benak siswa ketika melihat video kita? Takjub performancenya atau langsung kena sasaran materinya? Ini yang seharusnya mulai digalakkan jika ingin menjadi guru yang maju. Penulis adalah guru yang juga penikmat kerja keras Idol-idol K-POP dengan performance mereka, yang bisa dinikmati dan diperhatikan lirik lagu yang ditulis dan disampaikan oleh mereka, mengungkapkan bagaimana anak muda seharusnya; benar-benar banyak belajar dari anak-anak muda besutan SM Entertainment, yang memiliki K-Pop International School sebagai tempat untuk melatih anak-anak muda pilihan. Mereka bekerja 24 jam, bersimbah peluh dalam melatih gerakan tari mereka sehingga orang lain bisa mengambil hikmah sebagai kerja keras. Belajar bahasa entertain dari negara-negara yang akan dikunjungi sehingga banyak penikmat atau kata lainnya netizen menjadi lebih dihargai oleh idolnya.  Para pemuda usia antara 14 - 28 melakukan pelatihan sehingga mereka ahli di bidangnya dan bershabar untuk debut. Inti yang mereka sebarkan kurang lebih yaitu belajar sebagai  bentuk kerja keras yang harus dilatih dengan shabar, efektif tetapi menyenangkan hati. Wajar saja bila para Idol K-POP akhirnya famous di lima benua.

Guru bukan famous yang diperlukan, tetapi inovasi dan kreatifitas dalam mengemas pembelajaran. Siapapun bisa menjadi guru. Tetapi seorang guru seutuhnya, akan merasakan frustasi yang meningkat dan mengalami kejenuhan bila siswa-siswinya tidak merespon seperti yang diinginkan. Itu biasanya menjadi bias bila sudah bertemu dengan kelucuan dari tingkah siswa-siswinya. Guru hanya memiliki modal keyakinan dan percaya diri saja, untuk menaklukkan hati anak-anaknya. Bukan karena melemah siswa-siswi tersebut mau ditaklukan oleh guru, lebih pada menghargai kerja keras gurunya yang bersedia mendekat kepada mereka, mengenali dan memahami situasi mereka. Akan tetapi ada yang lebih ekstrim mengatakan karena sudah frustasi menghadapi bencana,  maka mereka mulai menerima dengan terpaksa kehadiran gurunya.

Boleh jadi kata yang paling sering disampaikan oleh siswa saat menghadapi situasi bencana seperti ini adalah kata frustasi. Ternyata bukan hanya siswa yang frustasi, terkadang guru dan orang tua menghadapi keadaan yang tidak diinginkan bisa menjadi frustasi.  Di sini perlunya komunikasi dengan pemikiran jernih; baik guru maupun orang tua pun sama. Apabila siswa frustasi karena masa bermainnya yang kurang, guru frustasi karena siswanya tidak mampu menyerap materi yang dipikirkan dalam blended learning atau tugas-tugas yang diberikan belum lagi sering tidak memberikan respond saat masuk jam belajar, bersikap masa bodoh dengan pelajaran. Orang tua frustasi karena malu bila siswanya diinformasikan tidak masuk dalam kegiatan pembelajaran atau tidak mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, makin semau gue saat di rumah, sulit membangunkan mereka karena kebiasaan tidur malam pada anak-anak remaja belasan tahun, yang menganggap dirinya sudah dewasa, sulit mendisiplinkan anak-anaknya sendiri, sementara spp tetap berjalan seperti biasa dan seterusnya. Contoh kasus yang terjadi berdasarkan pengalaman, ada seorang siswa saat pandemi hanya masuk pembelajaran kurang lebih 2-5 kali dalam sebulan pembelajaran, jarang mengerjakan tugas, bersikap menentang peraturan yang ada, mencoba lari dari kebisingan dengan mendaki gunung atau camping. Seberapa keras orang tua meminta anaknya menyadari perilaku yang menjengkelkan, seperti itulah mereka akan bersikap kepada kita. Anak remaja kurang suka dikepoin alias dicari tahu apa yang dia suka atau yang sedang dilakukan, dia juga tidak suka dianggap anak kecil, tidak mengerti situasi, dinasehati berlama-lama atau dilarang banyak hal. Sementara guru maupun orang tua ada di posisi adult, terkadang juga serba salah saat orang tua atau guru tidak melakukan pemantauan atau pengawasan ada saja yang terjadi dan bukan positif yang dilakukan. Inilah yang perlu dikomunikasikan diantara anak dan orang tua atau siswa dengan guru. Komunikasi itu bisa tegas, bisa juga sedang atau melemah. Semua tergantung kasus dan latar belakang pendidikan di dalam keluarga tersebut.

Oleh karena itu, antara guru, orang tua dan siswa memiliki kesepakatan bersama untuk apa yang akan dilaksanakan bersama. Konsekuensi positif (reward) dan negatif (punishment) juga perlu disepakati bersama agar terjadi sinergi dalam pelaksanaanya. Tidak jauh berbeda kepada guru, sekolah dan pemerintah atau masyarakat (orang tua), pemerintah daerah dan pusat. Kesepakatan sangatlah penting untuk melihat seberapa jauh norma yang dapat diterapkan dan bagaimana mengatasi kesenjangan yang terjadi diantaranya. Penghargaan sebagai reward harus menjadi kekuatan lain dalam pelaksanaan kebijakan yang berlaku. Penghargaan biasanya acuannya adalah honor. Untuk memunculkan jiwa kompetitif di dalam masyarakat perlu patokan dasar capaian dari satu Rukun Tetangga, Rukun Warga sampai dengan ke Desa. Artinya pendidikan jangan hanya sekedar pengaitan siswa dengan sekolah, tetapi masyarakat dengan sekolah juga perlu dibuatkan platform. Contoh dalam satu wilayah pasti ada RT, RW, Lurah, Camat, Bupati/Wlikota, Gubernur.  Kontribusi paling besar dari sekolah yang ada di sekitar itu apa, sekolah A memperbaiki tatanan sikap dan perilaku penjual-penjual di sekitar sekolah. Ketua RT/RW/Lurah/Camat/Gubernur memberikan tindakan tegas kepada pedagang keliling maupun menetap yang membiarkan siswa binaan suatu sekolah melakukan tindakan tidak terpuji dan memberikan reward tambahan modal atau kemudahan mendapatkan insentif dari UMKM bagi pedagang yang bisa bekerjasama dengan siswa untuk menjaga sikap baik dan positif, tidak menipu dan lain-lain.

Dari hal tersebut, kearifan lokal dapat tergali. Kelurahan B dengan jumlah RW 25, RT 50, dan Kepala keluarga kaya, menengah, miskin sebanyak 500 sampai dengan 600 dapat menghasilkan aliagrem (makanan khas Jawa Barat) sebanyak 300 kwintal untuk siap dipasarkan bekerjasama dengan SMK C di bagian boga, SMK E di bagian Rekayasa perangkat lunak, SMK F di bagian penghitungan keuntungan. Aliagrem buatan bersama harus diuji kadar vitamin dan lain-lain, pemerintah dan Universitas bisa membantu menguatkan. Apabila daerah tersebut akan membuat produk lain selain makanan sebagai kearifan lokalnya, sebaiknya ambil produk mesin/ alat pembuat aliagrem/ tungku/ pisau/pengocok telur agar persaingan dengan desa lain semakin beragam dan pemanfaatan sekolah peluangnya lebih besar. Wilayah ini pun dapat menyerap tenaga kerja SMK-SMK untuk membuka usaha atau  ini juga harus memiliki kematangan berpikir yang tidak ambisius pada keuntungan sepihak tetapi bersama. Mulailah dengan kesepakatan, pertimbangan, kebijakan dan pelaksanaan yang mencerahkan masyarakat.    TANTANGAN KESPAKATAN DALAM BELAJAR

Oleh Diah Trisnamayanti

 

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang kata lainnya Belajar dari Rumah (BDR) merupakan pola belajar dengan menggunakan tekhnologi terbarukan di bidang telekomunikasi.  Ketika pandemi Covid-19 makin bertambah kasus kemunculannya, Pembelajaran Jarak jauh menjadi sasaran utama dalam pelaksana pendidikan di tingkat dasar, menengah sampai dengan pendidikan tingkat tinggi. Ramai-ramai melaksanakan virtual meeting, ramai-ramai membuat konsep sendiri tentang virtual meeting dan banyak hal lain yang berhubungan dengan sekolah, pendidikan dibuat dengan gaya teknologi kekinian. Banyak kalangan menyoroti hal yang harus dan tidak diajarkan saat pandemi tetapi tidak kokoh mencuat. Polemiknya akhirnya hanya berkisar pada pulsa atau kuota internet.

Jika ditilik dari sisi positifnya, teknologi memang sangat membantu sekali memajukan pendidikan. Baik siswa maupun guru semakin meningkat kemampuan berbasis teknologi. Penggunaan virtual classroom, virtual meeting, searching material, video or film maker, audio visual meningkat. Sudah pasti perusahaan provider dan penyedia konten juga bersaing ketat, meningkatkan dan menambah fitur-fitur terbarunya. Niatnya, Fitur-fitur tersebut mempermudah pengguna karena kecanggihanya. Tetapi terkadang keadaan sebaliknya, justru menyulitkan, ternyata apa yang ingin disampaikan saat tatap muka langsung menjadi tidak menyenangkan. Tidak tepat sasaran akhirnya. 

Apalagi setelah PJJ ini ditetapkan untuk dilaksanakan sampai pandemi mereda. Guru harus membuat materi-materi sekreatif mungkin agar tidak membuat jenuh siswa selama PJJ. Metode blended learning diprogramkan agar membuat pembelajaran memiliki waktu yang singkat, efektif dan menyenangkan. Guru secara otomatis berusaha keras menambah ilmu di bidang yang bukan dunianya. Ini tantangan besar bagi guru-guru. Guru, yang berharap besar pada peningkatan kualitas anak didiknya, akan mengejar kemampuan teknologi pembuatan video atau film singkat, menjadi editor video atau film singkat pembelajaran, berakting, menjadi pemeran utama atau menjadi produser. Tujuannya tidak lain selain menjadi pusat perhatian siswa dari apa yang semestinya diajarkan sehingga tetap mengarahkan siswa, setidaknya sedikit mengubah cara pandang siswa tentang sesuatu dengan konsep yang menyenangkan. Siswa juga diharapkan tetap memiliki rasa persaingan, perjuangan, keshabaran, ketegaran dan ketelitian dalam menghadapi dilema kehidupan. Tetapi tidak semuanya memiliki pemikiran yang sama,  antara satu guru dengan guru yang lain maka kecenderungan blended learning sulit terwujud sempurna karena tiap guru terkadang memiliki konsep berbeda sementara blended learning membutuhkan kerjasama dan kekompakan diantara pelaku pembelajaran ini. Miris memang, itulah yang ada di masyarakat pendidikan di era digital masa pandemi. Bagaimana selanjutnya agar pembelajaran benar-benar blended antara ilmu dan perilaku?

Sejujurnya, mengajarkan sikap sopan, disiplin, tegar, bershabar, bertanggungjawab, menghargai orang lain; lebih sulit dibanding mengajarkan kalimat bahasa Inggris dengan rumusan tertentu; tapi bukan berarti tidak bisa. Sementara guru yang diharapkan mengembangkan serta mendidik sikap-sikap itu harus menggunakan virtual sekarang ini; saat sebelum pandemi saja, guru sulit sekali menekankan dan mendidik sikap sopan, disiplin, tegar, bershabar, bertanggungjawab, menghargai orang lain secara langsung. Mengapa? Karena mereka punya latar belakang pendidikan orang tua dan lingkungan yang berbeda, pemberian Reward dan Punishment karena tidak bersikap  sopan, disiplin, tegar, bershabar, bertanggungjawab, menghargai orang lain tidak dilakukan dengan kesepakatan yang sama. Sehingga pemikiran kritis mereka juga tidak terbangun secara utuh di pergaulan mereka.  Sudah bisa dipastikan, pendidikan karakter disiplin, peka, toleran, shabar, kuat, tegar dan sopan yang tidak akan muncul dalam keseharian mereka di lingkungan rumah, lingkungan bermain, dan lingkungan belajar, inilah yang mempersulit guru mengajarkan pendidikan karakter pada virtual classroom. Apalagi guru tidak bisa menembus ruang dan waktu bersamaan pada semua siswanya; Sebagai contoh, di group chat Whatssapp, banyak siswa yang justru bertanya atau bercerita tanpa memperkenalkan diri dahulu, dan berbicara dengan guru, layaknya teman sendiri, menggunakan kata gaul cenderung tidak menghormati kepada yang lebih tua kadang kala. Tidak salah, tetapi mengendalikannya butuh waktu dan proses yang lumayan lama. Kembali Guru ditantang menyelesaikan proses yang tidak sederhana seperti tangkapannya. Mendidik membutuhkan proses yang tidak sebentar dan mentransfer ilmu membutuhkan taktik dan strategi, inilah yang tidak didiskusikan diantara guru mata pelajaran. Diskusi hanya berkisar bagaimana performance videonya, bukan diskusi tentang kira-kira apa yang ada di benak siswa ketika melihat video kita? Takjub performancenya atau langsung kena sasaran materinya? Ini yang seharusnya mulai digalakkan jika ingin menjadi guru yang maju. Penulis adalah guru yang juga penikmat kerja keras Idol-idol K-POP dengan performance mereka, yang bisa dinikmati dan diperhatikan lirik lagu yang ditulis dan disampaikan oleh mereka, mengungkapkan bagaimana anak muda seharusnya; benar-benar banyak belajar dari anak-anak muda besutan SM Entertainment, yang memiliki K-Pop International School sebagai tempat untuk melatih anak-anak muda pilihan. Mereka bekerja 24 jam, bersimbah peluh dalam melatih gerakan tari mereka sehingga orang lain bisa mengambil hikmah sebagai kerja keras. Belajar bahasa entertain dari negara-negara yang akan dikunjungi sehingga banyak penikmat atau kata lainnya netizen menjadi lebih dihargai oleh idolnya.  Para pemuda usia antara 14 - 28 melakukan pelatihan sehingga mereka ahli di bidangnya dan bershabar untuk debut. Inti yang mereka sebarkan kurang lebih yaitu belajar sebagai  bentuk kerja keras yang harus dilatih dengan shabar, efektif tetapi menyenangkan hati. Wajar saja bila para Idol K-POP akhirnya famous di lima benua.

Guru bukan famous yang diperlukan, tetapi inovasi dan kreatifitas dalam mengemas pembelajaran. Siapapun bisa menjadi guru. Tetapi seorang guru seutuhnya, akan merasakan frustasi yang meningkat dan mengalami kejenuhan bila siswa-siswinya tidak merespon seperti yang diinginkan. Itu biasanya menjadi bias bila sudah bertemu dengan kelucuan dari tingkah siswa-siswinya. Guru hanya memiliki modal keyakinan dan percaya diri saja, untuk menaklukkan hati anak-anaknya. Bukan karena melemah siswa-siswi tersebut mau ditaklukan oleh guru, lebih pada menghargai kerja keras gurunya yang bersedia mendekat kepada mereka, mengenali dan memahami situasi mereka. Akan tetapi ada yang lebih ekstrim mengatakan karena sudah frustasi menghadapi bencana,  maka mereka mulai menerima dengan terpaksa kehadiran gurunya.

Boleh jadi kata yang paling sering disampaikan oleh siswa saat menghadapi situasi bencana seperti ini adalah kata frustasi. Ternyata bukan hanya siswa yang frustasi, terkadang guru dan orang tua menghadapi keadaan yang tidak diinginkan bisa menjadi frustasi.  Di sini perlunya komunikasi dengan pemikiran jernih; baik guru maupun orang tua pun sama. Apabila siswa frustasi karena masa bermainnya yang kurang, guru frustasi karena siswanya tidak mampu menyerap materi yang dipikirkan dalam blended learning atau tugas-tugas yang diberikan belum lagi sering tidak memberikan respond saat masuk jam belajar, bersikap masa bodoh dengan pelajaran. Orang tua frustasi karena malu bila siswanya diinformasikan tidak masuk dalam kegiatan pembelajaran atau tidak mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, makin semau gue saat di rumah, sulit membangunkan mereka karena kebiasaan tidur malam pada anak-anak remaja belasan tahun, yang menganggap dirinya sudah dewasa, sulit mendisiplinkan anak-anaknya sendiri, sementara spp tetap berjalan seperti biasa dan seterusnya. Contoh kasus yang terjadi berdasarkan pengalaman, ada seorang siswa saat pandemi hanya masuk pembelajaran kurang lebih 2-5 kali dalam sebulan pembelajaran, jarang mengerjakan tugas, bersikap menentang peraturan yang ada, mencoba lari dari kebisingan dengan mendaki gunung atau camping. Seberapa keras orang tua meminta anaknya menyadari perilaku yang menjengkelkan, seperti itulah mereka akan bersikap kepada kita. Anak remaja kurang suka dikepoin alias dicari tahu apa yang dia suka atau yang sedang dilakukan, dia juga tidak suka dianggap anak kecil, tidak mengerti situasi, dinasehati berlama-lama atau dilarang banyak hal. Sementara guru maupun orang tua ada di posisi adult, terkadang juga serba salah saat orang tua atau guru tidak melakukan pemantauan atau pengawasan ada saja yang terjadi dan bukan positif yang dilakukan. Inilah yang perlu dikomunikasikan diantara anak dan orang tua atau siswa dengan guru. Komunikasi itu bisa tegas, bisa juga sedang atau melemah. Semua tergantung kasus dan latar belakang pendidikan di dalam keluarga tersebut.

Oleh karena itu, antara guru, orang tua dan siswa memiliki kesepakatan bersama untuk apa yang akan dilaksanakan bersama. Konsekuensi positif (reward) dan negatif (punishment) juga perlu disepakati bersama agar terjadi sinergi dalam pelaksanaanya. Tidak jauh berbeda kepada guru, sekolah dan pemerintah atau masyarakat (orang tua), pemerintah daerah dan pusat. Kesepakatan sangatlah penting untuk melihat seberapa jauh norma yang dapat diterapkan dan bagaimana mengatasi kesenjangan yang terjadi diantaranya. Penghargaan sebagai reward harus menjadi kekuatan lain dalam pelaksanaan kebijakan yang berlaku. Penghargaan biasanya acuannya adalah honor. Untuk memunculkan jiwa kompetitif di dalam masyarakat perlu patokan dasar capaian dari satu Rukun Tetangga, Rukun Warga sampai dengan ke Desa. Artinya pendidikan jangan hanya sekedar pengaitan siswa dengan sekolah, tetapi masyarakat dengan sekolah juga perlu dibuatkan platform. Contoh dalam satu wilayah pasti ada RT, RW, Lurah, Camat, Bupati/Wlikota, Gubernur.  Kontribusi paling besar dari sekolah yang ada di sekitar itu apa, sekolah A memperbaiki tatanan sikap dan perilaku penjual-penjual di sekitar sekolah. Ketua RT/RW/Lurah/Camat/Gubernur memberikan tindakan tegas kepada pedagang keliling maupun menetap yang membiarkan siswa binaan suatu sekolah melakukan tindakan tidak terpuji dan memberikan reward tambahan modal atau kemudahan mendapatkan insentif dari UMKM bagi pedagang yang bisa bekerjasama dengan siswa untuk menjaga sikap baik dan positif, tidak menipu dan lain-lain.

Dari hal tersebut, kearifan lokal dapat tergali. Kelurahan B dengan jumlah RW 25, RT 50, dan Kepala keluarga kaya, menengah, miskin sebanyak 500 sampai dengan 600 dapat menghasilkan aliagrem (makanan khas Jawa Barat) sebanyak 300 kwintal untuk siap dipasarkan bekerjasama dengan SMK C di bagian boga, SMK E di bagian Rekayasa perangkat lunak, SMK F di bagian penghitungan keuntungan. Aliagrem buatan bersama harus diuji kadar vitamin dan lain-lain, pemerintah dan Universitas bisa membantu menguatkan. Apabila daerah tersebut akan membuat produk lain selain makanan sebagai kearifan lokalnya, sebaiknya ambil produk mesin/ alat pembuat aliagrem/ tungku/ pisau/pengocok telur agar persaingan dengan desa lain semakin beragam dan pemanfaatan sekolah peluangnya lebih besar. Wilayah ini pun dapat menyerap tenaga kerja SMK-SMK untuk membuka usaha atau  ini juga harus memiliki kematangan berpikir yang tidak ambisius pada keuntungan sepihak tetapi bersama. Mulailah dengan kesepakatan, pertimbangan, kebijakan dan pelaksanaan yang mencerahkan masyarakat.