Mengenai Saya

Foto saya
I love writing, learning, cooking, watching some cartoon films such, sponge Bob, naruto, the legend of Aang.

Senin, 19 Oktober 2020

Challenge AISEI #Day14AISEIWritingChallengePelangiHatiDiUjungSenja

 

W

aktu menunjukkan pukul 05.35. Kharisma baru saja sampai di depan gerbang sekolah. “Assalamu’alaikum, met pagi Pak Sarpin” sapa Kharisma pada pak Satpam bertugas pagi itu. “Wa’alaikumsalam, waduh!!, bunda selamat pagi juga.” “Sehat pak?” senyum nya lagi. “ Alhamdulillah, lumayan bunda hehe..” tukasnya membalas. “ Ok, saya masuk ya.” “Siap-siap... siap..”. Kharisma melenggang masuk ke ruang  guru dengan riangnya, alat finger print pun membuatnya tambah senang karena ada gambar wajahnya di sana.

            Ruang masih sepi dan gelap. Dia menekan tombol nyala lampu ruangan. Jaket tas dan jingjingan buku dia letakan di meja guru yang lebar. Dia mengambil posisi di pojok kanan di seberang pintu masuk ruangan. Kharisma mengeluarkan rangsum makanan yang dia masak untuk anak-anak, suami dan dirinya pagi tadi. Dia keluarkan juga senjata berjuangnya hari itu, laptop, tablet, gawai, tempat pinsil dan dompet yang dia masukan ke dalam jingjingan buku referensi materi hari itu.

             Tiba-tiba gawainya berdering. Nomor yang biasa dia kenal selalu menyapanya sejak 10 tahun lalu tanpa dia tahu siapa orang tersebut. Telpon berdering berkali-kali. Ketika diangkat selalu dimatikan. Kharisma hanya tersenyum, dia tidak merasa terganggu lagi dengan kejadian itu. Dia mengikhlaskan semua yang terjadi seperti kejadian satu hari 5 bulan lalu. Saat seorang perempuan di telpon memarah-marahi dirinya sampai menuliskan kata-kata kotor di sms untuk dirinya. Dia sudah tidak menanggapinya. Dia hanya beranggapan, Allah pasti memberikan hal ini karena Allah sayang padanya. Ini lah cara Allah menguatkan hati umatnya.

Guru lain pun mulai berdatangan satu persatu. Saat Kharisma menyuap nasi dan lauknya, seorang siswi menghampirinya dan melepaskan tangis. Kharisma bertanya, “ eh.. kenapa nak..? ko menangis?” “ Oh ya... teruskan saja dulu menangisnya nak..” sang siswa pun terus sesengukkan. Tiga menit kemudian dia menghentikan siswanya. “Nah.. sekarang berhenti, tarik nafas lalu buang perlahan. Tenangkan diri kamu ya nak” lanjutnya. Sang siswa menganggukkan kepalanya tanda setuju dan mulai menyeka bulir-bulir air matanya yang tadi jatuh. Kharisma memberikan tisunya.

“Sudah?”

 “Ya.”

“ Bisa bercerita sekarang?”

“ Aku dimarahin mama pagi-pagi, padahal aku udah berusaha mengerjakan semuanya sendiri seperti maunya mama tapi mamaku tetap aja marah ke aku.”

“Mama tidak mungkin begitu saja marah nak, dia pasti punya alasan.” 

“ Boleh ibu tahu sebelumnya kamu mengerjakan apa?” lanjut Kharisma kemudian.

“Pas mama minta aku ambilkan susu adikku aku diam aja, terus adikku nangis terus.”

“Saat kamu disuruh mama kamu, kamu sedang melakukan apa? Bisa ditinggal atau tidak nak?”

“Aku lagi kesel dengan teman-teman yang selalu aja menyindir aku. Mereka bilang aku si cupu, tidak pernah gaul, ambekan, cengeng. Kenapa sih aku harus punya adik dan aku dilahirin sebelum dia?”

“ Loh... ko kamu keselnya jadi ke adikmu sih, nak? Kan adikmu tidak salah. Teman-teman kamu kan yang menyindir kamu. Nah ya... jadi morang maring   ndak jelas begitu deh? Nanti malah tidak bisa belajar hari ini nak” tukas Kharisma bijak. 

“Tapi aku masih kesel bu.” Katanya merajuk.

“Ok. Gini deh. Kamu sebenernya masih kesel ke adik kamu karena ibu kamu sejak kecil menitipkan kamu ke nenek dan kakek kamu sementara sekarang adik kamu tidak dititipkan tapi diurus oleh ibu kamu? Artinya kamu cemburu dengan adikmu, ya? Atau kamu kesel ke teman-teman kamu yang sudah menyindir kamu kemarin?”

“Dua-duanya” jawabnya singkat.

Kharisma menghela nafas dan tersenyum padanya sambil mengelus kepala siswi dengan lembut dan menepuk pundaknya.

            “Ok. Kita punya waktu lima belas menit. Selebihnya kita bahas setelah pulang sekolah ya.” Ucap Kharisma. Daniar, nama siswinya, pun mengangguk.          

“ Tentang adik ya, kamu usianya berapa?”

“Bulan September nanti baru 17 tahun”

“Adikmu berapa?”

“3 tahun” jawabnya.

“Masa gadis cantik seperti kamu cemburu dengan adikmu yang baru tiga tahun? Adikmu hanya mengetahui dan meniru semua gerakkan orang-orang dewasa. Kakek dan nenek kamu juga sudah tua, ibu kamu sudah tidak lagi bekerja. Mungkin mereka memilih untuk menjaga, mengasuh dan mendidik adikmu sendiri melihat kemungkinan yang terjadi padamu. Beliau mungkin juga merasa bersalah pada kamu, maka beliau tidak ingin melakukan kesalahan yang kedua dengan anaknya yang lain. Mama kamu dulu harus menitipkan kamu ke nenek dan kakek bukan karena beliau benci kamu nak. Itu berhubungan dengan masa depan kamu juga ko... sayang.”

“Baru satu ya... mudah-mudahan buat kamu tenang. Kamu kan harus belajar,  jadi harus senang sekarang.... Bisakah?.. ntar ibu aja deh yang bilang cengeng ya... hahaha, Nu’man pasti lari kalo kamu cengeng begitu... hehehe” Pungkas Kharisma.

“Alhamdulillah bu, lumayan. Siap bu. Tapi setelah pulang sekolah ya bu. Hari ini aku selesai jam 15.10 bu.” Sambil sedikit tersenyum mendegar canda Kharisma kepadanya.

“Ok.. ok.. yuk apel dulu dan belajar yang tenang ya...” Senyum ramahnya mengembang,

            Tepat jam 6.45, siswa-siswi sekolah dimana Kharisma bekerja melaksanakan  apel pagi seperti biasa. Guru-guru pun bersiap menuju medan kelasnya masing-masing, termasuk Kharisma. Jingjingan buku yang tadi sudah dipersiapkan, langsung digamitnya dan dia pun menuju kelasnya.

            Di dalam kelas, ketika dia menyebutkan satu-persatu siswa, tiba-tiba ada seorang anak yang masuk dengan baju keluar, celana panjang abu ketat restleting rusak, rambut seperti topi di tengah dan rambut di sisi kanan-kiri habis dicukur.  Senyum kemudian menghampiri Kharisma dan mencium tangannya sambil berkata. “Pagi bu” ujarnya kemudian. “Ya. Pagi.” Sedikit kecut wajahnya melihat tampilan sang siswa.

            Kharisma mulai melancarkan senjata awalnya. Nasihat pagi. Dia selalu mengkonsepkan dalam dirinya, nasehat pagi bukan hanya sekedar nasehat untuk siswa-siswinya tetapi juga nasehat untuknya sendiri sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

            Materi pelajaran  satu demi satu tersampaikan olehnya dengan sabar. Dia melihat pada tatap mata siswa-siswinya ketika dia menjelaskan, ada yang memahami dengan cepat, ada yang masih bingung, ada yang masa bodoh dan cenderung sibuk dengan dirinya serta temannya. Dia pun menyampaikan pertanyaannya.

            “Alright, would you tell us anymore what you know about passive voice, kids?” Kharisma bertanya pada siswa-siswa yang hilang fokusnya.

“Hehe.. aku g ngerti bu!” katanya tidak perduli.

“Well, I suppose that you pay attention when I explain it anymore Ok.” Sejenak Kharisma terdiam dan menatap tajam siswa-siswa itu.

Dia pun mengulangi penjelasannya dengan materi Passive Voice melalui contoh-contoh mudah di sekitar kehidupan siswa dengan penuh tawa.

“Miss, thank you. I know I know sekarang”

Sahut salah satu siswa. Sugito anak yang terakhir masuk dan sangat tidak perduli dengan penampilanpun. Akhirnya menyahut, “Yes, Mom. When did you come to my class anymore?” Kharisma senyum puas  dan menjawab “I’ll come here again next week my kids. And don’t forget to find all passive voices you know from what everything you read at home on the road perhaps, right? See you next time” tutupnya di kelas tersebut.

            “Ms, may I ask you something?” suara Gito menghadang Kharisma. “Yes. What do you want to ask kid?” “May I purpose you Ms?” Gito bertanya yang mengejutkan. “Hmmm...” Kharisma hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya dan berlalu meninggalkan Gito yang terbahak-bahak bersama teman yang lainnya.

Akhirnya Kharisma memanggil secara pribadi Gito di ruang Bimbingan. Dengan caranya, dia memberikan pandangan tentang kalimat yang disampaikannya di depan umum tadi dan membuat semua orang terbahak-bahak.

“Gito, kamu anak yang pandai. Kata-kata kamu tidak salah begitupun pertanyaanmu. Tahukah kamu nak, ibu lebih pantas sebagai orang tuamu. Bila kamu berkata seperti itu ada 2 kemungkinan, kamu memang menyukai wanita yang lebih tua atau kamu sedang memperolok-olok ibumu ini nak?”

Gito hanya tertunduk malu. Kharisma melanjutkan pandangannya di depan guru Bimbingan dan Karir. “Maaf ya mbak.” Ujarnya kepada Ibu Siti, Guru Bimbingan Karir Sekolah Kejuruan “Cinta Nusantara” itu. Ibu Siti pun mengangguk.

“Coba Gito lihat ke Ibu nak, Ibu tidak marah. Lihat dan perhatikan lah Ibu baik-baik?” Gito memandang sekilas wajah Kharisma, lalu kembali tertunduk. “Bismillah, sudah dilihat kan nak? Menurut Gito sebagai anak cerdas, wajarkah nak sikap itu?” “Tidak, bu!” jawabnya. “Alhamdulillah.” Syukurnya setelah mendengar jawaban Gito. “Maaf, ya nak. Memangnya, kamu ada masalah dengan orang tua mu nak?” tanyanya sabar.

“Ya begitulah!”

“Maksud kamu apa nak?”

“Gak apa-apa”

“Oh ya sudah bila kamu tidak ada masalah. Tapi ibu boleh bertanya padamu nak?” Gito menganggukan kepala. “Kamu sayang dengan motor mu nak?”

“Ya bu.”

“Bila satu rodanya diambil orang, apakah motormu masih lengkap nak?”

“Tidak”

“Mampukah berjalan?

“Tidak, bu”

“Tapi, bisakah itu diganti? Apakah kamu marah pada orang yang mengambil?”

“Bisa bu..”

“Hmm.. lalu?”

“Apakah kamu marah pada orang yang mengambil roda motor mu?”

“Ya, bu saya mau pukulin orang itu” Kharisma tersenyum.

“Oh begitu..” lanjutnya.

“Kamu tidak Ikhlas menerima hal itu nak?” Gito berwajah masam dan kesal ditanya oleh Kharisma seperti itu.

“Kenapa saya harus Ikhlas? Saya susah payah ko dapetin roda motor itu dan mahal bu harganya. Masa malingnya main ambil gitu aja” Kharisma mendengarkan tutur cerita Gito.

“Setiap yang hidup akan mati dan kembali kepada Allah penciptanya”

“Ga ngerti bu! Apa nyambungnya ma roda motor hilang?”

“Iya... ya.. “ Kharisma menyetujui sambil tertawa. Gito pun tertawa.

“Nah. Begitu dong!” Ujarnya.

“Gito..., Intinya ibu bicara hal penting, bukan dalam kapasitas emosi ya, artinya ibu tidak marah. Tapi ibu ingin kamu yang cerdas ini tidak patut memperolok-olok siapapun dalam kapasitas apapun. Ketika kamu melakukan hal tersebut artinya kamu mengambil satu hal yang berguna untuk setiap manusia dihadapan manusia lain yaitu Penghargaan dan Penghormatan diri. Kamu berkata tadi bila ada yang mengambil maka kamu akan memukulinya. Begitupun Allah, bila seorang ibu diperlakukan tidak baik maka Allah tidak akan Ridho kepadanya. Ketika Allah tidak ridho atau ikhlas, maka cobaan silih berganti akan kamu terima dalam hidup kamu di bumi dan di akhirat. Ibu tidak berharap itu nak. Ibu mengajar karena kamu adalah penerus bangsa ini. Bagaimana jadinya bila penerus bangsa ini bersikap tidak baik pada guru, orang tua dan para orang yang lebih tua. Hancur nak.” Sentuhnya menyadarkan Gito yang tiba-tiba menangis tersedu-sedu dan memohon maaf berkali-kali.

            Kharisma pun sempat mengeluarkan airmata saat Gito mencium kakinya. Kharisma tidak mengharapkan itu dan ia meminta Gito berdiri.

            “Ibu sudah memaafkanmu nak. Semoga Allah selalu bersamamu ya.”

            Tidak sadar waktu mengajar di kelas lain tiba. Kharisma menyelesaikan mengajarnya dengan wajah penuh bahagia dan mengucapkan syukur berulang-ulang sebelum kemudian masuk ke kelas yang terakhir hingga pukul 16.20. Dia terlewat untuk mendengar cerita Daniar. “Biarlah Ini yang Allah berikan kepadaku hari ini. Alhamdulillah” itulah yang terpikir di benaknya ketika dia beranjak pulang di senja hari.

                                                            S E L E S A I

                                          ###

 

#30hariAISEIbercerita

#AISEIWritingChallenge

#100katabercerita

#pendidikbercerita

#warisanAISEI

#KomunitasSejutaGuruNgeblog

#AISEIInsiraAction

#KelasKreatif

#KOGTIK

#KomunitasSejutaGuruNgeblog(KGSN)


7 komentar:

your opinion