Mengenai Saya

Foto saya
I love writing, learning, cooking, watching some cartoon films such, sponge Bob, naruto, the legend of Aang.

BELAJAR DARING DI KELAS RPL #Day18AISEIWritingChallengeBercandaDalamBadai

 

BERCANDA DALAM BADAI





               Hidup terus bergerak, gawai yang dibelinya sudah    dua tahun lalu masih bagus. Sayangnya, kehidupan berputar. Hari ini Mirna harus menjual gawainya yang telah menemaninya selama dia di sekolah putih abu.

              Dia membeli gawai sekitar dua juta lebih dari hasil tabungannya karena dulu guru honorer mendapat bantuan hibah sebesar tiga ratus ribu rupiah per bulannyayang pencairannya per 3 bulan sekali. Jumlah uang itu ditabungkan olehnya hingga mencapai dua juta empat ratus ribu rupiah. Dia langsung belikan gawai. Kejadian tersebut kurang lebih sudah 3 sampai 4 tahun silam. Bagi Mirna,  uang banyak dan sedikit digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja. Dia tidak pernah memberikan pada ibunya, yang harus membiayai adik-adiknya 4 orang serta keluarga, karena ayahnya yang juga guru honorer hanya mampu membiayai sekolah formal tanpa yang lain-lain, maka ketika dia mempunyai sedikit tabungan dia gunakan untuk membeli keperluan dirinya.

              Saat ini, dia telah menikah dan mempunyai anak. Kebutuhan dalam rumah tangga memang sangat beragam tergantung kedua insan yang menjalani bahtera itu. Dia tahu bagaimana susahnya mengatur uang. Gabungan gaji suami dan dirinya pun ternyata masih kurang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kebutuhan susu dan pampers anak meningkat melebihi kebutuhan pokok lainnya. Agar anaknya tidak terkena malnutrisi, dia pun harus menjual gawai kesayangannya yang sudah empat tahun bersamanya. Dijualpun dengan harga yang sangat miring cenderung terguling.

              “Biarlah, aku jual. Nanti bisa aku beli lagi yang lebih terbarukan” pikir Mirna. Hujan canda dan chat tidak lagi bisa dia baca dari teman maupun siswa serta orang tua siswa. Dia tersenyum kecil setelah meninggalkan konter dan mendapatkan uang sebesar delapan ratus lima puluh ribu. Sesampainya di rumah.

              “Bun, dari mana?” Tanya Hari, suami Mirna.

              “Dari sana” jawab Mirna.

              “Aku telpon ga ada jawaban, Bun. Sandya, nangis tuh. Katanya bunda pergi beli susu”

              “Iya, bunda tinggal sebentar, beli susu. “ dia langsung bejalan ke ruang belakang rumahnya untuk membuatkan susu Sandhya.

              “Bunda.. ko ga dijawab, ayah nanya?”

              “Iya, engga dijawab. Bunda jual gawainya ke Mama Fifi.”

               “Emangnya kenapa? Ko dijual? Lagi, kamu ga bilang dulu ke ayah, kalau kamu mau jual” Hari sedikit tersinggung dan meninggi suaranya.

                “Kamu tuh, engga bagus kalau begitu. Apa-apa harus diomongin. Kalau kayak begini, kan susah semua. Tadi dari sekolah sudah nelpon ayah 6 kali. Kenapa kamu engga jawab orang tua yang besok anak-anaknya mau ujian akhir semester ganjil. Kamu bisa jawab?” Jelas Hari sedikit geram pada Istrinya. Mirna tidak berani bicara, dia tahu dia salah. Tetapi dia harus melakukan ini karena menyangkut anaknya. Dia hanya meneteskan air mata.

                 “Emang kurang uang yang aku kasih? Sampe ngejual gawai!!.”

Sentak Hari pada Istrinya Mirna. Mirna hanya berderai air mata. Dia tak mampu untuk mengatakan maaf atau menyangkal dari apa yang suaminya katakan.

                 “Jawab! dong Bun... Aku engga ngerti deh. Susah amat sih ngomong aja..” Mirna kaget saat Hari sedikit berteriak padanya. Baru kali itu setelah 3 tahun menikah. Mirna makin tersedu tetapi ditahan suaranya. Hanya tetes air matanya makin deras. Sandhyakalaning menghapus air mata ibunya sambil terus meminum susu gelas yang Mirna beli untuknya.

                “Kenapa siih, Bunda! Bikin kesel aja. Hari init.” Hari akhirnya pergi setellah mengambil jaket dan naik motornya dengan bunyi yang lumayan keras. Mirna tak kuasa menahan tangisnya. Tetapi dia ingat dia punya anak, yang tidak boleh tahu bahwa bapak ibunya sedang berselisih paham.

                “Unda.. jangan nangis. Ayah pergi naik motor tuh.. aku engga diajak bunda.” Ungkapnya polos.

                 “Iya, Sandya tidak boleh ikut dulu ya, di luar hujan”

                 “Iya.. tapi unda jangan nagis. Aku takut“ Mirna menghapus air matanya. Ditahan rasa sedih dan takut ada suaminya. Padahal biasanya jika ada salah, dia langsung meminta maaf. Enat apa yang dirasakannya. Dia tak mampu mengucapkan maaf atau berkeluh kesah. Hanya dia merasakan kepedihan dibentak oleh suaminya. Dia menangis bukan karena hal lain. Tetapi dia menangis karena suaminya tidak mengerti kebutuhan rumah tangga yang besar, harus ditangani olehnya. Suaminya hanya tahu memberikan uang. Tidak tahu kekurangan yang harus dibayarkan untuk memenuhi semua.

               Jam sudah menunjukkan pukul 21.30. suaminya belum menunjukkan tanda-tanda kepulangannya. Anaknya, tidak mau tidur-tidur ketika dia memintanya. Dia malah mengatakan

                  “Unda, ayah kenapa belum sampe-sampe rumah? Aku cape nungguinnya”

                   “Kakak, tidur aja ya. Nanti Unda yang nunggu Ayah”

                   “Ini apa siih, unda?” jawabnya dari pertanyaan, dialihkan dengan pertanyaan lain yang jawabannya sebenarnya dia sudah tau karena dia menunjuk mainannya. Mirna hanya bisa tersenyum dan membiarkan Sandhyakalaning bermain sendiri. Dia melihat ke arah jendela, mengintip keluar. Tidak ada suara motor suaminya.

            “Kakak.. tidur yuk.., tuh ayah datang” setelah dia mendengar beberapa menit kemudian suara motor tetangganya.

             “Ayaaaahhh... ” teriaknya ke arah pintu.

             “Unda bukan, ayah. Mang Ujang” sahutnya memanggil tetangga kontrakannya.

             “Kenapa, Sandhya..?” Mang Ujang menyapa Sandhya dengan ramah. Mirna yang pura-pura menyapu rumahnya menanyakan apakah tetangganya melihat suaminya. Mang Ujang pun memberikan informasi seadanya.

             “Terimakasih ya Mang, saya masuk dulu” ketika Mirna masuk terdengar suara motor suaminya. Sandhya, yang tadinya digendong langsung turun dan berlari ke arah Hari yang baru merapatkan motornya.

             “Ayah...” Sandhyakalaning, mengambil jari ayahnya untuk mengajaknya masuk. Hari mengikuti anaknya, yang minta digendong dan membuatnya tersenyum sedikit. Terasa, kekesalan di hatinya masih tersisa. Dia pun tak melirik istrinya. Khawatir akan muncul kekesalan yang bertambah. Sandhyakalaning akhirnya tertidur dipangkuan Hari. Mirna, mengambil anaknya tanpa berkata dan mimiknya masih diselimuti perasaan takut, kecewa, dan bingung pada sikap Hari. Hari hanya terdiam dan dengan lembut meminta Mirna duduk di sampingnya setelah Mirna menidurkan anaknya di dipan kamarnya yang hanya terhalang almari dengan ruang tamu.

2 komentar:

your opinion