BERCANDA
DALAM BADAI
Hidup terus bergerak, gawai yang
dibelinya sudah dua
tahun lalu masih bagus. Sayangnya, kehidupan berputar. Hari ini Mirna harus
menjual gawainya yang telah menemaninya selama dia di sekolah putih abu.
Dia membeli gawai sekitar dua
juta lebih dari hasil tabungannya karena dulu guru honorer mendapat bantuan
hibah sebesar tiga ratus ribu rupiah per bulannyayang pencairannya per 3 bulan
sekali. Jumlah uang itu ditabungkan olehnya hingga mencapai dua juta empat
ratus ribu rupiah. Dia langsung belikan gawai. Kejadian tersebut kurang lebih
sudah 3 sampai 4 tahun silam. Bagi Mirna,
uang banyak dan sedikit digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri
saja. Dia tidak pernah memberikan pada ibunya, yang harus membiayai
adik-adiknya 4 orang serta keluarga, karena ayahnya yang juga guru honorer
hanya mampu membiayai sekolah formal tanpa yang lain-lain, maka ketika dia
mempunyai sedikit tabungan dia gunakan untuk membeli keperluan dirinya.
Saat ini, dia telah menikah dan
mempunyai anak. Kebutuhan dalam rumah tangga memang sangat beragam tergantung
kedua insan yang menjalani bahtera itu. Dia tahu bagaimana susahnya mengatur
uang. Gabungan gaji suami dan dirinya pun ternyata masih kurang untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga. Kebutuhan susu dan pampers anak meningkat melebihi
kebutuhan pokok lainnya. Agar anaknya tidak terkena malnutrisi, dia pun harus
menjual gawai kesayangannya yang sudah empat tahun bersamanya. Dijualpun dengan
harga yang sangat miring cenderung terguling.
“Biarlah, aku jual. Nanti bisa
aku beli lagi yang lebih terbarukan” pikir Mirna. Hujan canda dan chat tidak
lagi bisa dia baca dari teman maupun siswa serta orang tua siswa. Dia tersenyum
kecil setelah meninggalkan konter dan mendapatkan uang sebesar delapan ratus
lima puluh ribu. Sesampainya di rumah.
“Bun, dari mana?” Tanya Hari,
suami Mirna.
“Dari sana” jawab Mirna.
“Aku telpon ga ada jawaban, Bun.
Sandya, nangis tuh. Katanya bunda pergi beli susu”
“Iya, bunda tinggal sebentar,
beli susu. “ dia langsung bejalan ke ruang belakang rumahnya untuk membuatkan
susu Sandhya.
“Bunda.. ko ga dijawab, ayah
nanya?”
“Iya, engga dijawab. Bunda jual
gawainya ke Mama Fifi.”
“Emangnya kenapa? Ko dijual?
Lagi, kamu ga bilang dulu ke ayah, kalau kamu mau jual” Hari sedikit
tersinggung dan meninggi suaranya.
“Kamu tuh, engga bagus kalau
begitu. Apa-apa harus diomongin. Kalau kayak begini, kan susah semua. Tadi dari
sekolah sudah nelpon ayah 6 kali. Kenapa kamu engga jawab orang tua yang besok
anak-anaknya mau ujian akhir semester ganjil. Kamu bisa jawab?” Jelas Hari
sedikit geram pada Istrinya. Mirna tidak berani bicara, dia tahu dia salah.
Tetapi dia harus melakukan ini karena menyangkut anaknya. Dia hanya meneteskan
air mata.
“Emang kurang uang yang aku
kasih? Sampe ngejual gawai!!.”
Sentak
Hari pada Istrinya Mirna. Mirna hanya berderai air mata. Dia tak mampu untuk
mengatakan maaf atau menyangkal dari apa yang suaminya katakan.
“Jawab! dong Bun... Aku engga ngerti
deh. Susah amat sih ngomong aja..” Mirna kaget saat Hari sedikit berteriak
padanya. Baru kali itu setelah 3 tahun menikah. Mirna makin tersedu tetapi
ditahan suaranya. Hanya tetes air matanya makin deras. Sandhyakalaning
menghapus air mata ibunya sambil terus meminum susu gelas yang Mirna beli
untuknya.
“Kenapa siih, Bunda! Bikin
kesel aja. Hari init.” Hari akhirnya pergi setellah mengambil jaket dan naik
motornya dengan bunyi yang lumayan keras. Mirna tak kuasa menahan tangisnya.
Tetapi dia ingat dia punya anak, yang tidak boleh tahu bahwa bapak ibunya
sedang berselisih paham.
“Unda.. jangan nangis. Ayah
pergi naik motor tuh.. aku engga diajak bunda.” Ungkapnya polos.
“Iya, Sandya tidak boleh ikut dulu ya,
di luar hujan”
“Iya.. tapi unda jangan nagis.
Aku takut“ Mirna menghapus air matanya. Ditahan rasa sedih dan takut ada
suaminya. Padahal biasanya jika ada salah, dia langsung meminta maaf. Enat apa
yang dirasakannya. Dia tak mampu mengucapkan maaf atau berkeluh kesah. Hanya
dia merasakan kepedihan dibentak oleh suaminya. Dia menangis bukan karena hal
lain. Tetapi dia menangis karena suaminya tidak mengerti kebutuhan rumah tangga
yang besar, harus ditangani olehnya. Suaminya hanya tahu memberikan uang. Tidak
tahu kekurangan yang harus dibayarkan untuk memenuhi semua.
Jam sudah menunjukkan pukul
21.30. suaminya belum menunjukkan tanda-tanda kepulangannya. Anaknya, tidak mau
tidur-tidur ketika dia memintanya. Dia malah mengatakan
“Unda, ayah kenapa belum sampe-sampe rumah?
Aku cape nungguinnya”
“Kakak, tidur aja ya. Nanti
Unda yang nunggu Ayah”
“Ini apa siih, unda?”
jawabnya dari pertanyaan, dialihkan dengan pertanyaan lain yang jawabannya
sebenarnya dia sudah tau karena dia menunjuk mainannya. Mirna hanya bisa
tersenyum dan membiarkan Sandhyakalaning bermain sendiri. Dia melihat ke arah
jendela, mengintip keluar. Tidak ada suara motor suaminya.
“Kakak.. tidur yuk.., tuh ayah
datang” setelah dia mendengar beberapa menit kemudian suara motor tetangganya.
“Ayaaaahhh... ” teriaknya ke arah
pintu.
“Unda bukan, ayah. Mang Ujang”
sahutnya memanggil tetangga kontrakannya.
“Kenapa, Sandhya..?” Mang Ujang
menyapa Sandhya dengan ramah. Mirna yang pura-pura menyapu rumahnya menanyakan
apakah tetangganya melihat suaminya. Mang Ujang pun memberikan informasi
seadanya.
“Terimakasih ya Mang, saya masuk
dulu” ketika Mirna masuk terdengar suara motor suaminya. Sandhya, yang tadinya
digendong langsung turun dan berlari ke arah Hari yang baru merapatkan
motornya.
“Ayah...” Sandhyakalaning,
mengambil jari ayahnya untuk mengajaknya masuk. Hari mengikuti anaknya, yang
minta digendong dan membuatnya tersenyum sedikit. Terasa, kekesalan di hatinya
masih tersisa. Dia pun tak melirik istrinya. Khawatir akan muncul kekesalan
yang bertambah. Sandhyakalaning akhirnya tertidur dipangkuan Hari. Mirna,
mengambil anaknya tanpa berkata dan mimiknya masih diselimuti perasaan takut,
kecewa, dan bingung pada sikap Hari. Hari hanya terdiam dan dengan lembut
meminta Mirna duduk di sampingnya setelah Mirna menidurkan anaknya di dipan
kamarnya yang hanya terhalang almari dengan ruang tamu.
Jd penasaran dgn kisahnya
BalasHapusSemoga bisa kebeli lagi ya Gawainya... Aamiin
BalasHapus