Mengenai Saya

Foto saya
I love writing, learning, cooking, watching some cartoon films such, sponge Bob, naruto, the legend of Aang.

Minggu, 19 Desember 2021

AISEI Challenge Desember 2021 Week 3

 

BOLEH BERTANYA?

Astri dan Rina teman sekelas SD Perkasa. Mereka selalu saling mendukung dalam belajar. Asri lebih senang dengan pelajaran bahasa Indonesia sementara Rina selalu mampu menjawab jika Ibu Wiwi menjelaskan pelajaran IPA.

Setiap hari Kamis, mereka pasti belajar bahasa Indonesia dan IPA. Betapa senangnya mereka menunggu Ibu Wiwi mengajarkan materi baru.

“As.., kamu sudah cobain atau belum kalau es dimasukin gelas kaleng, kita jerang di atas kompor. Es mya jadi bagaimana?”

“hihihi.. ya itu mah dimasak esnya, jadi es panas dong..”  jawab Rina sambil tertawa dan meneruskan menulis puisi di buku tulisnya.

                “Aih kamu, belum coba ya? Ada asapnya lucu deh. Terus tiba-tiba berubah menjadi cair dan mendidih blubek.. blubek bunyinya” jelas Rina. Kemudian melanjutkan pembicaraan dengan penuh kebahagiaan dan keceriaan diantara mereka sebelum akhirnya pak Gunadi guru kelas IPA III b datang ke kelas mereka.

                  “Selamat pagi anak-anak. Hari ini kita belajar tentang pertumbuhan hewan amfibi ya” semua anak mengucapkan salam yang sama.

                  “Pak, bolehkan saya bertanya?” Astri mengucapkan sambil mengangkat tangannya.

                  “Boleh. Apa pertanyaanya, nak?”

                  “Ibu Wiwi kemana ya pak?”

                  “Oh iya, bapak lupa menjelaskan. Hari ini Ibu Wiwi tidak bisa hadir menemui kalian. Oleh karena itu, bapak menggantikan hari ini tugas beliau”

                  “Baik pak” jawab Astri dan Rina serta beberapa anak lain kompak.

                  “Kita lanjutkan belajar ya. Kalian pernah lihat katak?” tanya Pak Gunadi.

                  “Kemarin di sawah saya lihat pak” jelas Yusuf

                  “Bagus”

                  “Katak adalah salah satu hewan yang hidup di dua alam”

                  “Alam dunia dan akhirat ya pak” jawab Hidan sementara yang lain tertawa termasuk pak Gunadi.

                  “Maaf ya Hidan. Bukan itu maksudnya. Hidup di dua alam, katak dapat hidup di darat dan di air. Hewan ini punya kelebihan dengan memiliki 4 pernapasan. Mau tahu apa saja, kalian baca dahulu buku pegangan IPA hal 25 ya”

                  Anak kelas 3 A membuka buku bersamaan. Salah satu diantara mereka membacakan dengan lantang isi di halaman dua puluh lima. Tiba-tiba Rina yang sejak tadi asyik mendengarkan temannya membaca, menunjukkan tangannya.

                  “Pak, bolehkan saya bertanya?”

                  “Tentu, boleh. Apa pertanyaan mu nak?” Pak gunadi menjawab

                  “Saya penasaran, apa bedanya katak dan kodok? Apa saja yang termasuk hewan amfibi itu?”

                  “Terimakasih ya nak. Pertanyaannya mu bagus sekali. Sebelum bapak jawab kira-kira ada yang tahu bedanya kodok dan katak”

                  “Saya pak. Katak mah pendek, kodok mah panjang kecil” jawab Rahma

                   “Ada lagi yang tahu?”

                   “Saya, pak. Kodok gede.. tapi katak langsing kecil. Kodok mah kakinya pendek jadi lompatnya juga pendek. Tapi katak karena kecil dan kakinya panjang, lompatannya jauh” Jelas Randi.

                   “Bagus, sekali Randi. Seperti yang Randi sampaikan, perbedaan Kodok dan Katak. Kodok tampilannya lebar dan besar, kulitnya kering dan sedikit kasar. Kakinya pendek sehingga lompatannya tidak terlalu jauh. Sementara Katak bentuknya kecil langsing, kulitnya licin berlendir dan kakinya panjang, maka lompatnnya bisa jauh. Apa saja yang termasuk hewan Amfibi? Kodok, Katak, salamender, buaya” jelas Pak Gunadi. Lalu beliau melanjutkan

                 “Apakah itu dapat menjawab pertanyaanmu Rina?”

                 “Insya Allah sudah terjawab penasaran saya. Jadi ke empat hewan itu punya insang dan paru-paru ya pak?”

          Ketika pak Gunadi akan menjawab bel berbunyi sangat nyaring dan jam pelajaran IPA sudah selesai.  Mereka harus berisitirahat terlebih dahulu. Sebelum melanjutkan ke pembelajaran berikutnya. 



AISEI Challenge Desember 2021 Week 4

 

KELERENG KITA

             Istirahat pelajaran tatap muka hari Jum’at belum berakhir. Siswa SD Perkasa kelas 3, masih berada di lapangan sekolah. Mereka sedang bermain kelereng. Ada lingkaran yang berbentuk lubang dan kelereng disusun rapi di dalamnya. Pemain kali itu hanya tertinggal dua orang, Randi dan Yusuf. Sebelumnya Irwan, Dudi, Odih, dan Ridwan bermain bersama mereka. Namun seiring waktu istirahat yang hanya tiga puluh menit maka Randi dan Yusuf yang bertahan.

            Yusuf dan Randi berdiri sekitar sepuluh langkah dari bulatan yang mereka buat agar mereka dapat melempar kelereng yang di tangan mereka mendekati kumpulan kelereng di bulatan tersebut.

“Kamu duluan Randi” usul Yusuf.

“Oke, friend. Nah .. huuuoop. Aiiigh” sambil melempar kelerengnya dan melentingkan tubuhnya dengan lucu. Posisi kelerengnya berjarak satu setengah jengkal dari bulatan tersebut.

“Giliran aku ya. Uuughhhmm ohh sampai dong” doa Yusuf sambil melempar kelerengnya juga. Posisi lemparannya berbeda setengah jengkal lebih jauh dari Randi.

“Ayo Ran.. kamu bisa” Irwan menyemangati dari pinggir lapangan bersama Odih, sementara Dudi memberi semangat Yusuf. Randi memberikan tanda jempol pada temannya, kemudian mulai menjentikkan kelerengnya ke arah kumpulan kelereng itu.

STERRRR.. kelerengnya menyebar setelahnya.

        Satu per satu kelereng yang menyebar disentil Randy dengan kelereng utamanya. Dari sepuluh Randi bisa mengambil lima kelereng milik Yusuf dan satu kelereng miliknya sendiri. Pada tembakan sentil ke delapan kelereng utamanya jauh melesat keluar sasaran. Yusuf pun melakukan hal yang sama dengan Randi. Jumlah kelereng tersisa ingin dibabat habis oleh sentilanya. Yusuf akhirnya dapat menyelesaikannya. Tepat saat bel masuk kelas, mereka telah menyelesaikan permainan.       

        Mereka menghitung perolehan jumlah kelereng untuk disimpan di sebuah wadah yang diberikan pak Budi di ruang kerja beliau sebagai guru olah raga. Mereka melangkah ke kelas untuk mengikuti pelajaran matematika. Wajah mereka terlihat bahagia dan mereka menceritakan satu sama lain kisah mendapatkan kelereng maupun kegagalan untuk diperbaiki saat bermain lagi. 



Selasa, 14 Desember 2021

CHALLENGE AISEI DESEMBER 2021 Week 2

 

OBROLAN DINA


        Di pagi hari, Dina sudah bersiap dengan baju seragam putih merah yang dasi merah mengikat rapi di kerah baju dan topi diletakkan di atas meja makan sebelum digunakan. Tas yang berwarna hijau muda sudah berada di pundaknya tanpa dilepas sediktpun.

         “Dina, senang ya ke sekolah?” tanya Ibu Darwis, Nenek Dina pada Dina yang sejak tadi tidak bisa diam selalu bernyanyi dan bergerak kesana, kemari.

         “Iya, nek. Aku kan mau ke sekolah yang baru. Kata mama juga, aku harus bahagia karena nanti punya teman baru, gurunya juga baru, sepatu aku juga baru”

         “Bagus. Cucu nenek pinter deh” ungkap Ibu Darwis sambil menghabiskan sarapan. Beliau akan mengantarkan cucunya yang kebetulan tinggal bersamanya. Ibu dan bapak Dina, berpindah dinas ke kota dimana Ibu Darwis menetap.

         “Nenek, sudah sarapan atau belum?”

         “Sekarang kan sedang sarapan dengan cucu Nenek niih..” Ibu Darwis memperlihatkan nasi goreng yang dimakannya dan menyampaikan pada cucunya yang mungil, lucu, dan selalu ceria.

       “Dina, ndak berat bawa tas itu. Sini, nenek yang bawakan” ucap Ibu Darwis ketika mereka sudah bersiap akan berangkat ke sekolah berjalan kaki kurang lebih tiga ratus meter dari rumah mereka ke SD Perkasa.

          “Nenek, inikan tugas aku, jadi aku yang harus bawa. Aku kan ga bisa sebrangin jalan. Itu tugas Nenek, sebrangin aku” Jelasnya dengan riang

          “Oke deh, Putri Cilik.Nenek akan kerjakan tugas nenek ya.” Sambil menjetikkan jarinya ke hidung Dina yang terus berjalan berdampingan dengan neneknya.

          Sesampainya di sekolah, Ibu Darwis mengantar sampai di pintu gerbang sekolah dan Dina berjalan dengan penuh keyakinan ke arah kelasnya bersama Niken tetangga Ibu Darwis yang kebetulan bertemu dengannya di gerbang sekolah. 



CHALLENGE AISEI DESEMBER 2021 Week 1

 

DUDI GOWES PEDAL





“Irwan” panggil Dudi pagi itu.

“Eh Dudi, ada apa? Pagi-pagi sudah datang?” Mami Yoan menyapanya sambil melambaikan tangan ke arah Irwan untuk ke luar.

“Saya mau minta bantuan Irwan, tante.” Bersamaan dengan itu Irwan muncul. Mami Yoan tersenyum melihat keduanya.

“Nah.. ini Irwannya; tante tinggal ya Dudi” Mami Yoan menyampaikan dengan lembut. Mami Yoan panggilan untuk ibu dari Irwan.

“Kenapa di?”

“Tante aku kemarin mengirimkan sepeda baru untuk ulang tahun aku. Tapi aku ga bisa menggunakan. Kamu bantuin aku lah, belajar sepeda di lapangan komplek. Bisa kan?”

“Oh yuk, aku bilang Mami dulu ya.”

“Mi, aku ke rumah Dudi ya..”

“Boleh. Tapi sarapan dulu ya. Roti sandwichnya Mami bungkusin nanti dimakan bareng Dudi ya”

“Iya mih... “

Mereka berdua menuju rumah Dudi untuk mengambil sepeda hadiah ulang tahun dari Tantenya. Sesampainya di rumah Dudi, Irwan meminta izin ke Bunda Ita, mama dari Dudi dan Maita, untuk membawa sepeda barunya Dudi. Irwan menggowes sepeda Dudi sampai ke lapangan komplek dan Dudi dibonceng di belakang.

Sambil berkeliling lapangan, Irwan mengajarkan Dudi cara belok kanan dan kiri saat  putar-putar jalan di komplek.

“Di.. sekarang kamu coba ya, aku pegangin dari belakang” ungkap Irwan sambil menyerahkan sepedanya. Ketika melihat Dudi menaiki sadelnya, Irwan tetap memegangi bagian belakang sepeda sehingga Dudi bisa berada seimbang di sepedanya.

“Pedalnya di kaki kanan, Dud. Terus gowes ke depan. Ikutin aja kayuhan pedalnya. Ngerti kan?”

Dudi mengikuti langkah yang diberikan Irwan dengan hati-hati dan brrrrrrr dia meluncur perlahan dengan kayuhnya. Tangannya masih kaku ketika dia membelok  ke kiri untuk membuat putaran.

“Di.. tangan kamu kaku,  jadi susah belok”  pendapat Irwan

“Oh jadi seperti ini..” menunjukkan kelenturan tangannya berbelok pada Irwan dan diacungi jempol kemudian.

“Aku coba sendiri ya wan...” Irwan menganggukan kepalanya.

Dudi bahagia sekali mengkayuh sepedanya sendiri tanpa dipegangi Irwan. Irwan menunggu di bawah pohon, pojok lapangan dengan senyum terkembang di bibirnya. Mereka makan sarapan pagi yang dibawakan Mami Yoan dan membeli minuman yang segar setelah latihan bersepeda.

 

 



Selasa, 26 Oktober 2021

ASEI Writing-Challenge OKTOBER 2021_ADIL

 BERBAGI MICROPHONE

gambar diambil dari google


Setiap menjelang maghrib, Umar, Seto dan beberapa temannya di desa Pamijahan, Ciamis selalu membuka shalawat nabi sebelum adzan maghrib. Seperti juga hari itu, mereka sudah bersiap sejak jam setengan enam di Mushala Al Hidayah. Mereka mengaji lebih dahulu di pukul 16.00 sd 17.30 bersama pak ustadz Anang. Sementara Yusi, Mega, Tuti, Padia, dan beberapa teman perempuan di desa pamijahan belajar mengaji bersama ustadzah Irmawati.

Setelah shalawat dan shalat maghrib, Umar dan Yusi bertemu ustadz serta ustadzah untuk berbincang tentang kegiatan maulid Nabi Muhammad S.A.W. mereka ingin perayaan Maulid Nabi kali ini bisa meriah semua warga bahagia menyambutnya.

“Ya, boleh saja Umar. Itu bagus sekali” ustadz Anang membalas penjelasan Umar ketika mereka berkumpul.

“Asalkan, ingat orang tua kalian tidak keberatan kalian menggalang dana dan mengerjakan semuanya. Ikhlas, ya. Artinya kalian tidak boleh bolos sekolah gara-gara mengadakan kegiatan ini” ulas ustadzah Irmawati kepada mereka.

“Insyaallah” jawab yusi dan Umar berbarengan.

Setelah itu mereka bersiap shalat isya berjam’ah dan teman-teman lain pun sudah menunggu jawaban pertemuan itu.

“Gimana mar? Tiasa henteu?”

“Siip, Isukan sa atosan sakolah. Urang ngumpul nya di mushola. Ayeuna sholat Isya heula”

“Siap!” jawab semua teman-teman Umar berbarengan.

 Malam makin larut, mereka pulang dengan bahagia dan berjanji akan datang besok. Umar dan Seto mengingatkan yang lain untuk tidak lupa mengerjakan tugas dari Pak Ardi guru Bahasa Indonesia dan agama.

“Seto, numana tugas na nya? Da aku teh hilap deui euy..” tanya Riri dan Imran.

“Anu eta tea.. Pak Ardi teh bilang na, semua siswa teh keudah nulis laporan Maulid Nabi di wilayahnya, ngagunakaeun basa Indonesia”

“Oh nu eta, nu terakhir pak Ardi nyarios nya?” ungkap Rukmana yang dibenarkan oleh Umar dan Seto dengan anggukan dan senyuman. Mereka berjalan berangkulan dengan masker tetap menutupi wajah-wajah mungli mereka.

“Mar, boleh ikut mengerjakan di imah didinya heunteu?” tanya Mirwan mendekat ke arah Umar setelah Mirwan mencolek bahunya.

“Boleh. Sok weeh. Tapi urang mah hoyong na didinya nyarios heula ka emak jeung abah didinya heula. Ameh engke teu dipilarian ku Emak jeung apak”

“Nya, urang balik heula, engke ka imah didinya nya.. ngerjakeun nana?”

“Nya sok” Umar mempersilahkan temannya itu untuk datang dengan santun. Dia memang anak yang banyak disukai teman sebayanya karena selalu bisa mendapatkan ide menarik untuk mengerjakan tugas dari guru di sekolah meskipun sulit bagi siswa SD.

Beberapa jam setelahnya mereka sudah terlihat menikmati saat mengerjakan tugas yang diberikan pada mereka. Mereka mengerjakan sambil bercanda dan memakan ketimus yang dibuatkan ibu Amira.

Setelah selesai mengerjakan, Mirwan pamit pulang.

“Mar, urang balik heula nya” ungkap Mirwan ketika jam sudah menunjukkan pukul 21.00 di jam dinding yang dipasang di dinding ruang tengah rumah Umar, tempat dimana mereka mengerjakan tugas.

“Hati-hati ya Wan! Urang heunteu bisa nganter, sieun ku jurig hahaha” canda Umar karena matanya sudah terlihat memerah karena menahan kantuk.

“Uwa Amira, Mirwan pulang heula. Nuhun ketimus na” pamit Mirwan pada Ibu Amira,

“Mangga, kasep. Cing ati-ati nya.. salam ka emak nya wan”

“Muhun, Wa, sawangsulna. Assalamu’alaikum.”

“wa’alaikumsalam” jawab Ibu Amira dan Umar berbarengan. Kemudian mereka masuk dan menutup pintu rumah mereka. Saat itu, pak Surya sedang berdinas malam untuk menjaga hutan lindung.

###

Ke esokan pagi, anak-anak dari absen 1 sampai dengan 15 kelas VI berkumpul di sekolah. Umar masuk di bagian ke dua pertemuan tatap muka terbatas. Umar dan Pandu sudah berada di sekolah sebelum waktu yang ditentukan. Mereka asyik bermain game di hp mereka. Ibu Neti yang baru selesai di kelas menghampiri mereka

“Kalian sudah datang?” tanya ibu Neti

“iya bu” jawab mereka berbarengan sambil tatapan mereka tak lepas dari game yang sedang mereka mainkan.

“Sedang apa kalian?”

“Hehe sedang main game bu” Pandu menjawab langsung dan menghentikan sementara permainan gamenya kemudian menyenggol siku Umar agar melakukan hal yang sama,

“Maaf bu, sedang bertanding bi eh bu.. hehehe”

“Oh ya sudah, Ibu tinggal ya” Ibu Neti meninggalkan mereka yang kembali asyik bertanding di game yang mereka pilih.

“Ndu, Mar.. sugan teh kamana didinya?keur naon euy...” Seto baru saja datang menghampiri mereka.

“Nge-game.. cicing engke kalah urang” balas Pandu.

“siiipp... aaaghh. Tah kena deui” Umar mengungkapkan perasaannya saat melakukan permainan itu.

“Eh.. urang bisa nge les da. Hupp.. tah kena ayeuna... didinya mar. Mati euy langkah didinya” balas Pandu. Mereka seperti orang yang aneh duduk bersebelahan bertegur sapa karena game. Sementara Mirwan memperhatikan mereka berdua dan sekali-kali tertawa memperhatikan keanehan mereka.

Bel tanda masuk kelompok Umar dan anak-anak yang memiliki daftar nama di nomor 16 sd 30 siap memulai pembelajaran. Siang itu adalah hari pertama  ujicoba pembelajaran terbatas di SD Karunia Alam, mereka hanya belajar 1 pelajaran saja. Maka mereka pulang bisa lebih pagi. Ibu Neti mengingatkan agar siswanya patuhi protokol kesehatan dalam setiap kegiatan dan jaga jarak.

Sepulang dari sekolah, Seto, Mirwan, Umar dan teman-teman lainnya langsung menuju ke Mushola untuk mempersiapkan segala macamnya untuk kegiatan Maulid Nabi. Mereka berembuk menyusun acara. Pandu yang tidak satu desa pun ikut serta.

“Kakak Umar ada?” seorang ibu yang Umar kenal mencarinya di Mushola

“Mar, ajakan si Yuni ejeung Gunadi nya. Pan, Umar tau Yuni ejeung si Gungun kumaha. Engke, Bibi bawakaeun ba’wan Amih keur bawaan ibu-ibu nya”

“Nya.. bi, Yun jeung Gungun na ka Mushola weh heula bi”

“mangga kasep, Si Yuni tiasa da jadi anu naon eta teh MC kitu. Ci Gun mah rada eraeun. Meh babantosan weh nya.. jang”

“Muhun bi, mun ari Yuni na teu disiplin abi teu tiasa asupkeun ka MC bi”

“nya kumaha Umar weeh nya” sambil sedikit terasa wajah kecut, beliau mengakhiri percakapan dengan siswa SD sekreatif Umar di desa Sugih Makmur. Umar pun kembali ke kelompok yang sedang membicarakan acara. Dia pun menghampiri kelompok anak-anak perempuan yang banyak mengurusi konsumsi.

“Yus, kadieu geura” Umar meminta Yusi untuk mendekat kearahnya.

“ku naon mar?” ujar Yusi yang sedang mengarahkan teman-temannya.

“Ari MC, ti perempuan aya teu Yus? Urang nuju ngarobrol keun eta. Ti laki-laki anu jadi MC mah si Seto”

“Nya udah, Mega atawa Padia. Mega didinya MC nya?” Yusi menyampaikan sambil memerintahkan pada Mega.

“Jeung saha?” ujar Mega

“Jeung Seto” ungkap Umar

“Padia weeh nya, Pad? Urang ngurusin ambil kue jeung masukin ka besek jeung Tuti”

“Iya, Udah ama aku Mar”

“Tapi ci Yuni juga Bagus da jadi MC na..” Tuti nyeletuk.

“Nya.. tah mana Yuni na.. tara kadieu” ungkap Yusi.

“Iya, udah nya; urang ka ditu deui” jelas Umar,

Saat dia kembali ke kelompok laki-laki, mereka sudah hampir selesai menyusun Acara dengan MC Seto dan Padia. Mereka pun latihan menyampaikan di depan mushola tanpa Mic. Mereka berlatih tanpa pengisi acara.

Kecerdasan Seto dan Padia dilatih dengan membagi dan membuat ceria peringatan kelahiran Nabi Muhammad S.A.W, mereka kompak membagi agar anak-anak pengisi acara yang terdiri dari SDN Karunia Alam 1 dan 2 serta SDN Ceria Meriah 3 dan 4, yang kebetulan mereka menjadi jama’ah yang belajar dengan ustadz Anang dan Ustadzah Irmawati melakukan dengan bangga dan senang hati. Ustadz Anang dan Ustadzah Irmawati merasa bangga kepada mereka saat melihat gladi bersih hari itu. Umar sebagai ketua pelaksana bersama Yusi masih belum merasa puas.

“Temen-teman ngumpul heula di dideu, anu seksi acara belah dieu. Anu konsumsi belah ditu. Anu kucak kicik kaditu kadieu..” kalimat perhatian Umar terpenggal sesaat yang dijelaskan Mega

“Bagian Umum weh lah” ujar Mega

“Tah eta.. belah harep urang euy, ulah raribut heula. Pan tadi entos pegang mic na sakali ewang hehehe” jelas Umar sembari terkekeh melihat adik-adik kelasnya baik di SD Karunia Alam dan Ceria Meriah saling berebut menggunakan mic dan mencoba berkata. Akhirnya mereka berhenti dan mulai mendengarkan Umar.

“Pan tadi teh, tos latihan kabehannya. Amu ngisi acara teh ulah barengong ari Akang Seto manggil teh. Langsung ka harep, nunjukin kabisaan kalian. Tah ari atosan kaluarna ti dieu. Masuk pan belah ditu.. terang teu kuy?” jelas Umar tentang bagaimana kegiatan berjalan. Kemudian di respon oleh para pengisi acara.

“Kang, pan mic na kirang eta pas urang masuk teh jedah na langsung pake mic karabehan, jadi urang kabehan teh teu kadangu suara na pas nuju shalawatan teh” sahut budi sebagai salah satu pengisi acara.

“Temen-temn, cing ulang nga-sarerui ejeung ngagojekan wae wae.. sakedaap weh. Tah... nuhun. Nya mic urang teh mung aya 5 siki: engke teh ari kedah babarenungan mic na nu ditengah tea. Ulah dipegang. Engke nu pas bagian budi misalkeun nya kudu nyanyi sorangan. Budi na kaharep caket mic nu mana pan aya tiga : belah kanan, tengah, jeung kiri. Kumaha bisa pan”

“Okeh, kang ngarti urang ayeuna” jawab Budi lantang.

“Sip.. nah, ayeuna Teh Yusi nu nyarios”

“Nuhun Kang Umar, Abi mah bade nyampe keun anu kegiatan pembagian konsumsi untuk pengisi acara dipasihan setelah mereka nyanyi, shalawata atawa puisi.. kitu. Ameh teu rebutan jumlah urang nu naik ka panggung sabaraha, dietang heula. Sasuaikeun jeung nu di data. Ari maneh na teu hadir ulah dipasih keun heula. Kumpulkeun. Nah, ari tos salse pan aya kelewihan urang bagikaeun ka imah-imah anu teu tiasa ka Mushola. Atawa anu nuju sarakit di imah na jadi urang teh bisa ngarasakeun eh salah mereka teh tiasa ngarasakeun kebahagiaan saat maulid Nabi Oge. Kumaha?”

“Satuju, urang mah. Mung saha anu ngabagi lan aya teu nu masihan teurang waktu Maulid teh aya wargi kampung situ iyeu nu sakit? Pan belum ada kelompok na oge?” ungkap Tuti sambil memberikan pendapatnya tentang usulan Yusi

“Pan, didinya pan banyak kenal wargi Situ oge ejeung Mirwan lah urus keun nu kitu tiasa teu?” lempar Umar ke sahabatnya Pandu yang jelas bukan warga kampung Situ.

“Siap pak Komandan. Engke Mirwan jeung Usep Urang neangan lah..bagian salse acara, tapi sa entos na urang ngendong didieu nya hehe” ucap pandu

“oke tos aya nya pamacehan nana anu diwatirkeun ku teteh Tuti. Aya deui teu anu bade sumbang saran lan naroskeun soal acara keur isuk teh”

“Akang undangan keur ibu-ibu pengajian tos disebarkeun teu acan?” sahut seseorang di belakang

“Oh ya, nuhun pahartosan nana kang.. kumaha tah? Kang Seto nu ngarti sok sampekeun”

“Alhamdulillah, urang tos kerjasama ejeung pak Ustadz Anang dan ibu Ustdzah Irmawati untuk undangan lisan. Undangan Tertulis juga sudah dikirim. Ke pak Kades, Pak Lebe Hariawan juga tos didugikeun” Seto menjelaskan perannya dengan bahasa sunda yang seadanya karena dia memang bukan asli penduduk Desa situ.

“Kang Umar, bade tumaros. Pan tadi teh nuju nyanyi urang-urang teh teu kadangu suarana. Terus aya nu nguing tea kakak..”

“Engke mah heunteu da. Ayena mah nuju uji coba”  Umar menenangkan.

“Oh Okeh Kak!”

Kemudian Umar mengumumkan semua yang terkait dengan kegiatan berkumpul di pukul 16.00 alias ba’da ashar. Dan mereka bersiap untuk sholat dzuhur berja’maah. Di pandu Ustadz Anang.

“Wan, didinya mawa sarung ejeung koko heunte?” tanya Umar pada Mirwan Mirwan yang sudah membawa baju koko dan sarung pun langsung memeperlihatkannya pada Umar.

“Ok, urang teu mawa euy hehehe” setelah menjawab Umar bercanda dengan gembira bersama teman-temannya.

 

Jumat, 15 Oktober 2021

ASEI Writing-Challenge OKTOBER 2021_GIGIH

 MERAIH PELANGI

 


          

           Umar berlari kencang sekali ketika Ibu Neti mulai mengirimkan pesan melalui gawai dari aplikasi Whatsapp untuk pembelajaran PPkn di hari itu. Dia berpikir cukup 15 menit mencapai rumah Pandu yang berada di balik bukit dengan mengambil jalan pintas.

        Umar menggunakan sepeda BMX yang dibelikan orang tuanya menerabas jalan setapak dekat hutan bambu yang lumayan pekat dengan kabut pagi itu.

         “Mah.. pah.. Umar pamit ke rumah Pandu ya, lewat hutan bambu” izinnya pada ke dua orang tuanya.

         “De, itu hutan, kalau shubuh banyak ularnya loh” ujar Maira kakak kandungnya yang berada di tingkat 1 jurusan IPA di SMAN 1 Ciamis yang kebetulan sedang melaksanakan pembelajaran daring juga.

         “Orany na bageur, teh. Karunya atuh. Si Pandu nepi ka ayeuna can boga handphone. Ayah na can boga cicis ceunah” jelas Umar

         “Iya, sok dianter ku Abah ayeuna nepi ka keluar hutan. Engke telat kadituna. Mah.. siapkeun motor na Abah”

          “Abah, abi bade nyapeda, Abah nuturkeun nya bah” ungkapnya santun ke Ayahnya yang sejak tadi mendengarkan dan akhirnya tersenyum mengangguk.

           Ibu Amira, Istri dari Pak Surya adalah seorang ibu yang penuh  kekhawatiran mendengar kata hutan. Beliau mencoba mencegah awalnya. Tetapi tekad Umar cukup kuat untuk membantu Pandu belajar. Ibu Amira pun menyiapkn motor sambil membuat serabi untuk sarapan pagi. Beliau membungkuskan beberapa serabi telur untuk dibawa ke rumah Pandu dan Kang Omeh, tetangganya dahulu.

         “Mar, anu iyeu kangge mamah na Pandu nya. Anu Iyeu pasihkeun ka Kang Omeh anu caket bendungan di sisi jalan. Pan aya imah anu tos boyot ning. Salim hela ka Kang Omeh. Ulah hilap” Ibu Amira menyampaikan dengan hati-hati pesan untuk Kang Omeh.

        Kang Omeh seorang laki-laki tua dengan tatapan sendu, kulit hitam legam, giginya tidak lagi sempurna, tubuhnya sudah mulai membungkuk, dan nampak tidak secekatan ketika muda tetap bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri. Dia banyak  keterbelakangan mental. Dahulu selama masih ada orang tuanya Kang Omeh, panggilan akrab orang desa Haur Pugur, masih terawat dengan baik meskipun dia bekerja di sawah atau ladangnya, dia masih bisa makan yang cukup baik. Dia biasanya bekerja membantu orang desa yang membutuhkan tenaganya untuk memanen padi dan hasil ladang atau memberikan makan domba, sapi, ayam atau itik setelah kedua orang tuanya wafat setahun lalu karena sakit. Dia  sekarang tinggal sebatang kara. 

          Begitulah Umar mengingat kehadiran Kang Omeh sejak dia kecil di desa Sindang Laya sebagai seorang saudara yang harus dilindungi. Selagi dia teringat masa kecilnya di desa Sindang Laya bersama Kang Omeh, Ibunya mengingatkan dan membuatnya terkejut dengan mengatakan

          “Umar!!”

          “Astaghfirullah, Umar!” Ibu Amira memanggilnya hingga yang kedua kalinya, barulah Umar tersentak.

           “Eh.. Mamah, hampura Umar mah“

           “Mikirin naon Umar, anak ibu nu kasep?” tanggap Ibu Amira

           “Teu aya, Mamah. Umar pamit nya mah.. “

           “Abah.. Hayu.. kaburu kasiangan”

           “Tos Netepan teuu acan, nak?”

           “Atos Abah”

           “Alhamdulillah, hayu urang teraskeun olah raga pagi”

           “Abah, sapeda abah ban na kempes. Engke Umar ambil pompa na heula”

          “Nya sok jang.. Abah tunggu di dieu”

          “Abaah.. iyeu pompa na. Huiih..”

          “Kunaon, jang? Cape nya? Mantab anak abah mah.. sok kadieu keun pompana” Umar yang terlihat memanggul dengan sekuat tenaganya dari gudang dimana pompa itu disimpan ayahnya. Akhirnya, dia memberikan pada ayahnya dan dia melihat ayahnya memompa dengan cepat.

          “Bah coba lah, Umar bade coba heula ngompa teh berat heunte?”

          “Sok, injek nu iyeuna”  Pak Surya menunjuk pedal yang terbuat dari besi di bagian bawah pompa zaman tahun 1980an. Lalu melanjutkan mengarahkan Umar memompa ban sepeda ayahnya itu.

           “Tah .. ku Abah dicepeungan pentil na< engke Umar teken sakuat na” Umar mencoba menekan tetapi melejit lagi. Berulang kali dia mencoba dan akhirnya ban sepeda Pak Surya menggembung.

           “Tos, kasep.Engkeu teas teuing hese seimbang, meledug” ujarnya sambil mengelus pundak putranya dengan penuh kasih.

           “Simpen heula pompana tina gudang nu tadi Umar candak ti dinya” Beliau menjelaskan dan langsung dikerjakakn oleh putranya yang berat tubuhnya sekitar 52 kilogram tinggi 154 cm beda 20 cm dengan Pandu sahabatnya.

           “Siap Bah..Hehe” sahutnya bahagia. Maira melihat adiknya begitu bahagia tergerak ingin mengganggunya dengan memalangkan kakinya dimana dia duduk dekat pintu masuk dan dilewati Umar. Dengan sigap Umar menghindar dari kaki kakaknya yang memalangkan kaki di jalan menuju gudang.

           “Weehh, ga bisa, aku sudah sigap” Umar membalas dengan menggoyang-goyangkan bokongnya dan memperlihatkan wajah lucu ke arah kakaknya. Maira hanya tersenyum dan membalas dengan menakut-nakuti Umar

           “Ada eta loh.. dedemit, jeung ular loh. Si uler na teh jelmaan si kunti da”

           “Neng.. ulah kitu agh” Ibu Amira yang mendengarkan dan menghentikan Maira menggoda adiknya.

            “Geura berangkat, kasep. Ulah hilap kantong makanannya. Handphone na dicandak. Engke ari bade balik ka imah. Teteh nu nga jemput. Abah kan kedah ka kantor” ulas Ibu Amira.

            “Iya mamah” Umar merespon sambil berjalan dengan semangat dan senyum pun terkembang dari wajah Ibu Amira melihat putranya yang tumbuh percaya diri dan putrinya pun memberikan keyakinan pada adiknya dengan gaya seorang kakak.

            “Abah, Ayo. Keburu kesiangan nanti Umar ga bisa belajar dengan Pandu”

            “Hayuk! Mamah, Abah berangkat heula. Assalamu’alaikum. Mar, Sali ka mamah heula” Umar menggamit tangan ibunya dan dicumnya tangan ibunya meskipun dia memakai masker.

            “Hati-hati nak” sarannya pada Umar dan suaminya

            “Siappp! Ibu Nyanya...” senyum bahagia terpancar di wajahnya.

Selama perjalanan mendaki dan melintasi hutan bambu, aman tidak ada seperti yang diceritakan Kakak  Maira. Perbatasan pun telah dilalui. Umar dan ayahnya masuk ke wilayah sungai. Mereka menyusuri sungai kecil lalu setelah itu perjalanan mulai menurun,  tapi tidak sampai 90 derajat kecuramannya, masih sekitar 35 derajat. Peluh Umar dan pak Surya mulai terlihat bintik-bintiknya yang mengeluarkan semburat pelangi dari sinaran cahaya mentari. Umar menggowes tak henti mendahului abahnya.

           “Abah, sabaraha deui?” teriaknya sambil mengendurkan gowesannya. Abahnya mangacungkan jari telunjuknya menandakan jumlah kilometer yang harus ditempuhnya.

            “Lurus weeh.. nak. Nu aya Jembatan ti harep eren heula” jelas pak Surya pada anaknya. Akhirnya mereka berhenti di tempat yang pak Surya katakan. Beristirahatlah mereka sejenak. Saat sedang melepas lelah bertemulah mereka dengan kang Omeh

           “Ya, bade kamana? Tos lami teu papendak”

           “ Eh Kang, kumha damang?’

           “Sae..”

           “Iyeuh.. ngajajbkeun Umar ka rerencangan sakola na si Pandu”

           “Uwa.. abi teh milarian imah na Uwa.. iyeu aya titipan ti mamah, surabi hanet da. Si Mamah bade kadiyeu mun sapeda na mung dua. Jadi dititipan ka abi. Di emam nya wa” jelas Umar sambil mencium tangan Kang Omeh dan menyerahkan bungkusan serabi telur padanya.

           “Alhamdulillah, tos lami teu tiasa emamen jiga kieu Ya.. anak didinya saha namina, baheula mah masih kecil keneh” bungkusan serabi diambil dan dibuka sambil mengunyah satu serabi telurnya. Pak Surya hanya tersenyum melihat anaknya dan Kang omeh mengobrol dengan asyik. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 07.10. pak Surya pamit pada Kang Omeh dan Umar. Kang Omeh melambai tangannya seraya mengucapkan terimakasih dalam bahasa sunda berkali-kali setelah Pak Surya pun memberikan amplop nyecep sebagai Kadeudeuh.

            “Jang Umar bade ka imah na Pandu. sok dijajabkeun ku uwa" 

        "Nuhun Uwa, Umar tiasa sorangan ka imah Pandu mah"

        "Eh.. Uwa mah anteurkeun liwat nu caket. Ti Enjing-enjing Pandu ka sawah cekeut situ eta tea tah. jeung apana. Sok kadieu.. liwat na. Engke uwa bade ka sawah caket leweung belah ditu da" jelas Kang Omeh panjang lebar seperti dia bukan orang yang terkebelakang.  Umar tersenyum dan mengikuti uwa Omeh. Di ujung jalan setapak menuju ke leuweung Hebras begitu masyarakat di daerah itu menyebutnya terlihat Pandu bersama ayahnya sedang mencabut dan menanam kembali ketela pohon di pinggir sawahnya. 

        "Pandu...!!!" teriaknya uwa Omeh mengantarkannya sampai dimana pandu bekerja.

          "Kadieu Mar.." tukasnya membalas. 


                                            ###############


Senin, 11 Oktober 2021

WRITING CHALLENGE_OKTOBER2021-RELA BERKORBAN

AYAHKU SANG PETANI
 Pandu tumbuh menjadi anak dengan postur tubuh yang lebih tinggi dan kekar dibanding teman-temanya di SD Karunia Alam desa Sindang Laya, kabupaten Ciamis Wetan. Kulit sawo matang tidak mengurangi kegantengan putra pak Siddiq, seorang petani dan juga peternak domba di Ciamis Wetan.      

           Hari Minggu itu, Pandu baru selesai membantu ayahnya menanam ketela pohon di ladangnya yang tidak seberapa luas. Pandu membantu pak Siddiq  menanamkan batang-batang yang telah diraut agar bisa menancap di tanah ladangnya. Pak Siddiq mengambil air dari parit kecil dekat ladangnya untuk membasahi tanah yang telah ditancapkan batang ketela pohon dan ubi rambat di bagian pinggir ladangnya. Pandu membantu membuat lajur-lajur tanah yang ada di tengah ladang kecil untuk dimasukkan biji kacang merah. Dengan rajinnya, Pandu menyelesaikan pekerjaan ayahnya. Ketika dia sedang menikmati pekerjaan di ladang bersama ayahnya yang banyak menjelaskan bagaimana menanam metode tumpangsari, dia mendengar suara Umar memanggil dari wilayah pematang sawah milik Pak Haji Imran. Umar berlari kecil sambil membawa telepon genggamnya menuju ke arah Pandu.

        “Pandu,  Didinya ditaroskeun ku Ibu Neti. Kunaon, teu asup sakola?”

Umar adalah sahabatnya sejak masih kanak-kanak. Mereka selalu saling membantu bila yang lain tidak punya. Pak Siddiq tahu kalau Pandu belum punya smart phone agar bisa mengikuti pembelajaran secara online. Meskipun rumah Umar berada di balik bukit setelah kepindahan rumah orang tuanya dari desa dimana sebelumnya mereka tinggal  dekat dengan rumah Pandu.

            “Eh.. heueuh, urang poho, mar.. jam sabaraha ayeuna?”

            “Ayeuna jam 10 euy.. geura, asup igh!”  ujar Umar.

        “Aduuh, Ayah.. Pandu kedah ka sakola yah, iyeu atosan nya..” ujarnya sopan ke ayahnya. Pak Siddiq langsung merespon dengan pandangan bersalah pada anaknya.

        “Nya mangga, sing enggal lengkah kasep” sambil terus memperhatikan dua anak tanggung itu menuju ke sebuah saung.

         “Ndu.. didieu weeh da pan urang mah mung ningali google meet, ceuk bu Neti”

          “Nya mar.. didieu weh, linggih na”

   “Assalamu’alaikum, bu Neti. Maaf ya, Pandu masuk sekolahnya telat.”

       “Alhamdulillah, iya nak. Tidak apa-apa. Kamu yang ikhlas dan gembira ya belajar”

      “Siap bu Neti!” ucap Pandu dan Umar berbarengan dan mereka tertawa bahagia.

Bu Neti sedang mengajarkan Pendidikan Kewarganegaraan pada anak-anaknya.

    “Anak-anak, ibu boleh bertanya pada kalian ya. Bagaimanakah bentuk rela berkorban menurut kalian?”

            “Bu  Neti, saya mau jawab?” sela Pandu

            “iya silahkan, nak”

           “Ayahku teh pan seorang petani dan peternak domba dia rela menjual dombanya hanya untuk membiayai saya sekolah. Benerkan bu” lanjutnya. Ibu Neti pun tersenyum bangga.

         “Ada lagi yang lain? Bagaimana pendapat Pandu benarkah dia?”

     “Kemarin Yayuk menangis bu. Ceunah teh uang tabungannya dicuri tea.. ning. Tah tos kitu teh Ega mantuan Yayuk ekeur meuli buku nu kedah dibaca tea. Kitu sami heunteu bu jeung rela berkorban teh”  tukas Sri Eka dan melanjutkan

        “Menurut abdi mah, Pandu teh bener bu. Urang oge bener nya ..Pan”

         ‘Kumaha didinya weh Sri..”  Jawab Umar sementara Pandu mengangguk-angguk kecil.

          “Urang mah teu satuju euy caritana si Sri. Bu Neti da yang diceritakan ku Sri mah tolong menolong bu menurut urang mah”

          “Eits... engke heula didinya teu satuju ku naon euy?” lanjut Sri Eka sementara Yayuk yang semula diam dan memperhatikan mereka, mulai angkat bicara.

         “Maaf ya teman-teman, yang diinginkan bu Neti cuma kalian mengerti atau tidak bagaimana rela berkorban menurut kita di kehidupan kita. Sri cuma menyampaikan yang dia tahu, hanya menurut saya kurang tepat. Jadi tidak usah berdebat” jelasnya ramah dan bijak.

           “Alhamdulillah, terimakasih Yayuk, Pandu, Sri Eka, Umar,  Lie Hoon, Deborah. Kalian memang anak-anak yang hebat. Ibu bangga pada kalian” ulas bu Neti singkat jelas dan padat.

      “Ibu berharap apa yang kalian pahami baik itu rela berkorban, tolong menolong, menghargai dan bijaksana, kalian laksankan dengan hati yang gembira. Rela berkorban itu kalian tidak berharap apapun dari yang telah mereka dapat.”

             “Siap bu” semua anak di kelas VI A  bersamaan.

      “Baik lah, anak-anakku yang sholeh dan sholeha terimakasih sudah masuk ke google meeting  hari ini. Karena sudah waktunya kalian untuk meneruskan berbuat baik di muka bumi ya. Selamat menikmati pembelajaran di alam ya nak”

          “Terimakasih ya bu, sudah mengingatkan kami”

 Bu Neti pun menutup pembelajaran dengan leave meeting. Umar dan Pandu berjalan beriringan menuju pematang sawah ke ladang ayah Pandu.

         “Uwa, aya nu kedah dibantosan deui teu.. Pandu jeung Abi, tos beres belajar tina google meeting”

      "Tos, Mar, Nuhun nya bageur.. sok kalian main weeh tos belajar mah. atawa bade makan siang mar kadieu... tos salsei da, uwa ge"

     "Iya mar, sok.. we ulah sok asa-asa, Ummi ngabawaan ransum na leuwih da.."

          "Nya, wa, jiga nah ngeunah iyeu lauk"

     "Sok.. mar..Uwa bade meuli handphone ekeur si Pandu belajar, mar. meuli na ti mana nya?  " Pak Siddiq menawarkan makanan untuk dimakan bersama.

        "Uwa teunang weeh, engke, urang ejeung Pandu ka toko di kota nya Pan. Tapi didinya bantuan urang euy..urang teu ngarti Matematika nu pak Hasan jeulaskeun kamari"  

          "Siap, "


####

 

                                                                 



Sabtu, 25 September 2021

LOMBA BLOG BULAN BAHASA & SUMPAH PEMUDA - GURU PENGGERAK INDONESIA

 

PEMUDA...


YUK, TUNJUKAN KARYA


 TERBAIKMU!

Oleh

     Diah Trisnamayanti, S.S.    


gambar Mind Mapping Murid

 

Assalamu’alaikum,                                                                   

Salam Guru Penggerak, Salam Literasi.

Namaku Diah Trisnamayanti, pengajar Bahasa Inggris yang sudah mengajar kurang lebih 10 tahun  di SMKS MedikaCom Kota Bandung - Jawa Barat. “Sudah layakkah aku menjadi guru penggerak Indonesia?”

PEMUDA.. YUK, TUNJUKAN KARYAMU!

Bangsa Indonesia adalah bangasa yang besar tidak hanya terlihat pada kepulauan yang dimiliki, kekayaan bahkan penduduknya. Pemuda-pemudi Indonesia adalah Pemuda yang besar melalui cara berpikirnya.

Masih ingatkah semboyan Ki Hajar Dewantoro “Ing Ngarso sun tulodo, Ing Madya Mangun kerso, Tut Wuri Hadayani”?

ING NGARSO SUN TULODO

Guru sebagai suri-tauladan bagi muridnya. Dia harus terdepan dan memberi contoh tentang perilaku, perkataan dan pola berpikir.

Medan perangku sebagai guru adalah kelas. Murid-muridku ku anggap sebagai prajurit yang harus maju ke garis depan; sudah pasti mereka harus dibekali strategi yang mumpuni dalam peperangan melawan perilaku negatif, perkataan tidak baik, dan pemikiran tak terlihat yang akan menghancurkan mereka dan bangsa besar ini.

Oleh karena itu, aku harus memberitahukan kepada mereka bagaimana mereka melangkah, bagaimana mereka bersikap, berperilaku, berbudaya, serta mengambil kesempatan untuk masa depan mereka yang lebih baik.

Aku terus belajar agar mampu mengungkapkan strategi yang mudah diserap bagi kebaikan anak-anakku di masa depan. Trik menghadapi kehidupan dengan sesama jenis, lawan jenis, proses berumahtangga baik dalam mengambil keputusan maupun bekerja sama antar anggota keluarga, sampai pada sikap bekerja dan memecahkan persoalan pekerjaan harus terkait pada kepercayaan yang dianut.

 ING MADYO MANGUN KARSO

Seperti telah diketahui, guru harus berkolaborasi dengan sesama teman sejawat, siswa dan orang tua,

Aku teringat setahun lalu ketika awal pandemi berlangsung. Siswa-siswaku yang semula ceria dan penuh semangat, tiba-tiba berubah. Aku panik menghadapi ini.

Jelas sejak itu, aku mondar-mandir ruang Bimbingan Konseling. Bukan aku yang stress, tapi aku tidak tahu bagaimana menghadapi persoalan yang setipe ini.

Uniknya, Guru bimbingan konseling di SMKS Medikacom, lima  tahun silam, dia masih sebagai siswa ku di kelas. Saat ini dia adalah rekan kerjaku. Namanya Irfa’u Fatkiani Azzahri, S.Ag. Dia belajar di j
urusan Rekayasa Perangkat Lunak, SMK MedikaCom. Melanjutkan kuliah di UIN Sunan Gunung Djati jurusan Bimbingan dan Konseling selain passion, dia juga perduli pada adik kelasnya. Dia ingin memperbaiki dan meningkatkan nilai pembelajaran bagi murid SMK.

Kita berdiskusi banyak hal. Aku membantunya mengurai benang merah siswa yang memiliki masalah komunikasi interpersonal, sebaliknya dia juga banyak membantu dengan teori-teori dasar pembimbingan yang terbaru. Mengapa aku harus membantunya ditengah kesibukanku mengajar? Murid bukan seonggok daging segar yang diberi hati, jantung dan otak yang harus dijejali ilmu rekayasa manusia; tetapi dia diciptakan untuk merasakan, melihat, menimbang, menguatkan agar mampu bertahan dalam kehidupan yang diberikan Tuhan padanya. Jika Irfa’u harus bekerja sendirian menghadapi ribuan siswa di sekolahku yang memiliki rasa yang berbeda, maka aku adalah guru yang tidak punya hati nurani.

                                 Gambar  murid random kesulitan belajar Daring

    Aksi kita di masa pandemi memanggil random murid bermasalah dalam belajar daring; dikumpulkan, diberikan kertas untuk menggambarkan mind mapping kehidupan dan pendidikan mereka. Ini berguna untuk mengidentifikasi permasalahan mereka. Setelah mendapatkan, kita membagi tugas untuk menggali lebih dalam kesulitan belajar daring di rumah versi orang tua. Ibu Irfa’u menginformasikan permasalah yang dialami ke pihak pengelola sekolah. Sementara aku mengajak guru yang perduli dengan muridnya untuk bersama menjalankan pola interview yang tidak formal alias sambil mengobrol dengan orang tua murid. Ternyata masih banyak guru yang perduli. Ada yang dapat menyelesaikan persoalannya, meskipun masih ada juga orang tuanya yang tidak perduli. Biasanya kita selesaikan dengan cara home visit.

    Cerita berbeda ketika aku berkolaborasi dengan teman-teman guru bahasa Inggris. Kebetulan aku ditunjuk sekolah sebagai Guru Koordinator Mata Pelajaran Bahasa Inggris. Jumlah guru bahasa Inggris di sekolahku hanya empat orang untuk tujuh program kejuruan yang dibuka satu diantaranya laki-laki. Satu sama lain berusaha membantu dan mendukung yang lain bila ada masalah terjadi.

    Hebatnya, mereka justru yang meminta diadakannya kegiatan yang berhubungan dengan olah karya dalam bentuk try out: peer teaching, sebelum kita terjun ke kelas, kita menguji coba dengan sesama teman. Dari kegiatan ini, banyak sekali yang kami praktikan di dalam kelas. Kami saling berbagi tip dan trik dalam mengatur kelas dan mengendalikan digital  tools. Begitupun kemampuan komunikasi langsung, dengan siswa dan teman. 

                                         Gambar Peer Teaching MGMP Bahasa Inggris SMK MedikaCom


TUT WURY HANDAYANI

Aku senang mendukung teman-temanku yang mengikuti lomba bersama anak-anak didiknya, mendukung bagaimana mereka mengolah karsa baik dalam pelatihan atau kegiatan khusus penerimaan tamu. Karena dengan begitu teman-temanku bertambah wawasan dan kemampuan mengelola diri, kelas dan orang lain.

Ada yang mengikuti kegiatan Webinar pendidikan bersama dengan WISE Organization yang bermarkas di Uni Emirat Arab, atau World Class School yang bermarkas di negara Amerika Serikat. Bahkan kita masuk ke VLC Indonesia wadah bagi guru bahasa Inggris untuk melancarkan speaking dengan menggunakan critical thinking.









Nama Lengkap      :   Diah Trisnamayanti, S.S.

Email                    :  diahtrisnamayanti@gmail.com

No. Tlp                  : 0812 1481 1115