MERAIH PELANGI
Umar menggunakan sepeda BMX yang
dibelikan orang tuanya menerabas jalan setapak dekat hutan bambu yang lumayan
pekat dengan kabut pagi itu.
“Mah.. pah.. Umar pamit ke rumah Pandu
ya, lewat hutan bambu” izinnya pada ke dua orang tuanya.
“De, itu hutan, kalau shubuh banyak
ularnya loh” ujar Maira kakak kandungnya yang berada di tingkat 1 jurusan IPA
di SMAN 1 Ciamis yang kebetulan sedang melaksanakan pembelajaran daring juga.
“Orany na bageur, teh. Karunya atuh.
Si Pandu nepi ka ayeuna can boga handphone.
Ayah na can boga cicis ceunah” jelas Umar
“Iya, sok dianter ku Abah ayeuna nepi
ka keluar hutan. Engke telat kadituna. Mah.. siapkeun motor na Abah”
“Abah, abi bade nyapeda, Abah
nuturkeun nya bah” ungkapnya santun ke Ayahnya yang sejak tadi mendengarkan dan
akhirnya tersenyum mengangguk.
Ibu Amira, Istri dari Pak Surya adalah seorang
ibu yang penuh kekhawatiran mendengar
kata hutan. Beliau mencoba mencegah awalnya. Tetapi tekad Umar cukup kuat untuk
membantu Pandu belajar. Ibu Amira pun menyiapkn motor sambil membuat serabi
untuk sarapan pagi. Beliau membungkuskan beberapa serabi telur untuk dibawa ke
rumah Pandu dan Kang Omeh, tetangganya dahulu.
“Mar, anu iyeu kangge mamah na Pandu
nya. Anu Iyeu pasihkeun ka Kang Omeh anu caket bendungan di sisi jalan. Pan aya
imah anu tos boyot ning. Salim hela ka Kang Omeh. Ulah hilap” Ibu Amira
menyampaikan dengan hati-hati pesan untuk Kang Omeh.
Kang Omeh seorang laki-laki tua dengan
tatapan sendu, kulit hitam legam, giginya tidak lagi sempurna, tubuhnya sudah
mulai membungkuk, dan nampak tidak secekatan ketika muda tetap bekerja untuk
menghidupi dirinya sendiri. Dia banyak keterbelakangan mental. Dahulu selama masih
ada orang tuanya Kang Omeh, panggilan akrab orang desa Haur Pugur, masih
terawat dengan baik meskipun dia bekerja di sawah atau ladangnya, dia masih
bisa makan yang cukup baik. Dia biasanya bekerja membantu orang desa yang
membutuhkan tenaganya untuk memanen padi dan hasil ladang atau memberikan makan
domba, sapi, ayam atau itik setelah kedua orang tuanya wafat setahun lalu
karena sakit. Dia sekarang tinggal
sebatang kara.
Begitulah Umar mengingat kehadiran
Kang Omeh sejak dia kecil di desa Sindang Laya sebagai seorang saudara yang
harus dilindungi. Selagi dia teringat masa kecilnya di desa Sindang Laya
bersama Kang Omeh, Ibunya mengingatkan dan membuatnya terkejut dengan
mengatakan
“Umar!!”
“Astaghfirullah, Umar!” Ibu Amira
memanggilnya hingga yang kedua kalinya, barulah Umar tersentak.
“Eh.. Mamah, hampura Umar mah“
“Mikirin naon Umar, anak ibu nu
kasep?” tanggap Ibu Amira
“Teu aya, Mamah. Umar pamit nya
mah.. “
“Abah.. Hayu.. kaburu kasiangan”
“Tos Netepan teuu acan, nak?”
“Atos Abah”
“Alhamdulillah, hayu urang teraskeun
olah raga pagi”
“Abah, sapeda abah ban na kempes.
Engke Umar ambil pompa na heula”
“Nya sok jang.. Abah tunggu di dieu”
“Abaah.. iyeu pompa na. Huiih..”
“Kunaon, jang? Cape nya? Mantab anak
abah mah.. sok kadieu keun pompana” Umar yang terlihat memanggul dengan sekuat
tenaganya dari gudang dimana pompa itu disimpan ayahnya. Akhirnya, dia memberikan
pada ayahnya dan dia melihat ayahnya memompa dengan cepat.
“Bah coba lah, Umar bade coba heula
ngompa teh berat heunte?”
“Sok, injek nu iyeuna” Pak Surya menunjuk pedal yang terbuat dari
besi di bagian bawah pompa zaman tahun 1980an. Lalu melanjutkan mengarahkan
Umar memompa ban sepeda ayahnya itu.
“Tah .. ku Abah dicepeungan pentil
na< engke Umar teken sakuat na” Umar mencoba menekan tetapi melejit lagi.
Berulang kali dia mencoba dan akhirnya ban sepeda Pak Surya menggembung.
“Tos, kasep.Engkeu teas teuing hese
seimbang, meledug” ujarnya sambil mengelus pundak putranya dengan penuh kasih.
“Simpen heula pompana tina gudang nu
tadi Umar candak ti dinya” Beliau menjelaskan dan langsung dikerjakakn oleh
putranya yang berat tubuhnya sekitar 52 kilogram tinggi 154 cm beda 20 cm
dengan Pandu sahabatnya.
“Siap Bah..Hehe” sahutnya bahagia.
Maira melihat adiknya begitu bahagia tergerak ingin mengganggunya dengan
memalangkan kakinya dimana dia duduk dekat pintu masuk dan dilewati Umar.
Dengan sigap Umar menghindar dari kaki kakaknya yang memalangkan kaki di jalan
menuju gudang.
“Weehh, ga bisa, aku sudah sigap” Umar
membalas dengan menggoyang-goyangkan bokongnya dan memperlihatkan wajah lucu ke
arah kakaknya. Maira hanya tersenyum dan membalas dengan menakut-nakuti Umar
“Ada eta loh.. dedemit, jeung ular
loh. Si uler na teh jelmaan si kunti da”
“Neng.. ulah kitu agh” Ibu Amira
yang mendengarkan dan menghentikan Maira menggoda adiknya.
“Geura berangkat, kasep. Ulah hilap
kantong makanannya. Handphone na dicandak. Engke ari bade balik ka imah. Teteh
nu nga jemput. Abah kan kedah ka kantor” ulas Ibu Amira.
“Iya mamah” Umar merespon sambil
berjalan dengan semangat dan senyum pun terkembang dari wajah Ibu Amira melihat
putranya yang tumbuh percaya diri dan putrinya pun memberikan keyakinan pada
adiknya dengan gaya seorang kakak.
“Abah, Ayo. Keburu kesiangan nanti
Umar ga bisa belajar dengan Pandu”
“Hayuk! Mamah, Abah berangkat
heula. Assalamu’alaikum. Mar, Sali ka mamah heula” Umar menggamit tangan ibunya
dan dicumnya tangan ibunya meskipun dia memakai masker.
“Hati-hati nak” sarannya pada Umar
dan suaminya
“Siappp! Ibu Nyanya...” senyum
bahagia terpancar di wajahnya.
Selama
perjalanan mendaki dan melintasi hutan bambu, aman tidak ada seperti yang
diceritakan Kakak Maira. Perbatasan pun
telah dilalui. Umar dan ayahnya masuk ke wilayah sungai. Mereka menyusuri
sungai kecil lalu setelah itu perjalanan mulai menurun, tapi tidak sampai 90 derajat kecuramannya, masih
sekitar 35 derajat. Peluh Umar dan pak Surya mulai terlihat bintik-bintiknya
yang mengeluarkan semburat pelangi dari sinaran cahaya mentari. Umar menggowes
tak henti mendahului abahnya.
“Abah, sabaraha deui?” teriaknya
sambil mengendurkan gowesannya. Abahnya mangacungkan jari telunjuknya
menandakan jumlah kilometer yang harus ditempuhnya.
“Lurus weeh.. nak. Nu aya Jembatan
ti harep eren heula” jelas pak Surya pada anaknya. Akhirnya mereka berhenti di
tempat yang pak Surya katakan. Beristirahatlah mereka sejenak. Saat sedang
melepas lelah bertemulah mereka dengan kang Omeh
“Ya, bade kamana? Tos lami teu
papendak”
“ Eh Kang, kumha damang?’
“Sae..”
“Iyeuh.. ngajajbkeun Umar ka
rerencangan sakola na si Pandu”
“Uwa.. abi teh milarian imah na
Uwa.. iyeu aya titipan ti mamah, surabi hanet da. Si Mamah bade kadiyeu mun
sapeda na mung dua. Jadi dititipan ka abi. Di emam nya wa” jelas Umar sambil
mencium tangan Kang Omeh dan menyerahkan bungkusan serabi telur padanya.
“Alhamdulillah, tos lami teu tiasa
emamen jiga kieu Ya.. anak didinya saha namina, baheula mah masih kecil keneh”
bungkusan serabi diambil dan dibuka sambil mengunyah satu serabi telurnya. Pak
Surya hanya tersenyum melihat anaknya dan Kang omeh mengobrol dengan asyik. Tak
terasa jam sudah menunjukkan pukul 07.10. pak Surya pamit pada Kang Omeh dan
Umar. Kang Omeh melambai tangannya seraya mengucapkan terimakasih dalam bahasa
sunda berkali-kali setelah Pak Surya pun memberikan amplop nyecep sebagai Kadeudeuh.
“Jang Umar bade ka imah na Pandu. sok dijajabkeun ku uwa"
"Nuhun Uwa, Umar tiasa sorangan ka imah Pandu mah"
"Eh.. Uwa mah anteurkeun liwat nu caket. Ti Enjing-enjing Pandu ka sawah cekeut situ eta tea tah. jeung apana. Sok kadieu.. liwat na. Engke uwa bade ka sawah caket leweung belah ditu da" jelas Kang Omeh panjang lebar seperti dia bukan orang yang terkebelakang. Umar tersenyum dan mengikuti uwa Omeh. Di ujung jalan setapak menuju ke leuweung Hebras begitu masyarakat di daerah itu menyebutnya terlihat Pandu bersama ayahnya sedang mencabut dan menanam kembali ketela pohon di pinggir sawahnya.
"Pandu...!!!" teriaknya uwa Omeh mengantarkannya sampai dimana pandu bekerja.
"Kadieu Mar.." tukasnya membalas.
###############
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
your opinion