TUNTUTLAH ILMU SAMPAI KE NEGERI CINA
Ketika
suatu hari Mrs. Yoko Takagi, temanku di
IAERN mengunggah sebuah foto di facebook
tentang aktivitasnya mengajar kelas sejarah saat itu yang ada di benakku “Betapa hebatnya beliau”, Seusia
pensiun ibuku, beliau masih aktif memberikan ilmu kepada anak-anak yang sangat
jauh usianya dari beliau di sebuah sekolah di negara sakura. Akupun teringat sebuah hadist yang mengatakan
“Tuntulah ilmu sampai ke negeri Cina”. Pengajaran karakter dan budaya negara
sakura, dimulai dari kecil, mereka terkenal disiplin, bukan sesuatu yang
tiba-tiba. Latar belakang kehidupan keluarga di negara Jepang, mungkin tidak
jauh berbeda dengan kita. Tetapi mereka lebih menghargai sejarah negaranya dan
budaya mendengarkan pemimpin (Kaisar) serta orang yang lebih tua membuat mereka
menjadi negara maju di asia, saya yakin pasti ada juga kekurangan mereka. Ambilah
saja yang positifnya dari mereka.
Beberapa
waktu lalu dan masih sampai sekarang, pendidik diharapkan memasukkan kata dalam
rancangan pembelajaran alias RPP dengan kata-kata berkarakter. Akan tetapi,
jika diamati dalam prosesnya penekanan tersebut tidak muncul. Antara sekolah, orang
tua dan lingkungan belum terlihat kekompakan dalam memproses pendidikan bagi
siswa.
Sekolah seharusnya memberikan program parenting yang terus-menerus bisa
bersinergi baik pada orang tua dan lingkungan sekitar. Waduh jadi serius begini
ya?! Ya sudah teruskan saja. Maaf ya, yang kurang suka serius. Kali ini, saya ingin sedikit mengajak untuk
berpikir. Tidak susah ko. 😀😀
Aku memang mudah terbawa suasana ketika
anak-anak yang ceria bersekolah hanya melampiaskan hasrat mereka bermain. Sehingga
sekolah hanya sebagai sarana tempat bermain yang tidak memproses mereka menjadi
anak yang memang berbakat dalam bidang tertentu kalau bahasa kerennya Learning by doing.
Boro-boro memikirkan bakat; berbicara dengan bahasa sopan saja, sepertinya sulit keluar
dari mulut mereka. Karena lingkungan sekitar, memperkenalkan mereka budaya “kancing coplok” berulang-ulang dan
menganggap biasa, bahkan tertawa setelah anak mengatakan hal tersebut. Sementara
orang tua pengendali terakhir, terkadang marah berlebihan ketika anak
menyebutkannya di depan mereka atau di depan komunitas.
Dengan
semangat yang tidak saling menyalahkan, paling tidak kita membangun konsep
pendidikan karakter yang bersinergi. Sekolah harus siap membangun parenting link dan society link sehingga
bisa membuat orang tua membaca materi yang diberikan bukan hanya mengkritisi
kebijakan sekolah. Semangat membangun karakter bangsa, teman-teman! Thank you
for giving me inspiration through My friend, Mrs. Yoko Takagi From IEARN Japan. 💖💪 I wanna be a tough teacher like you.
Pembentukan karakter merupakan sinergi antar pendidik dan orang tua. karakter anak tidak akan jauh berbeda dengan karakter pendidiknya di rumah (orang tua) maupun di sekolah (guru).
BalasHapusBagaimana ya membangun parenting link atau social link antara orang tua dan pendidik di sekolah?
Benar pak. Terimkasih pak, senangnya dikunjungi oleh Omjay.
HapusMungkin dengan mengajak mereka bergabung dalam wadah tertentu yang di fasilitasi RT/RW/Lurah?camat sekitar sekolah, dengan sebuah kegiatan Fair, memberikan kontribusi kepada pedagang cilok misalnya, membuat cilok yang sehat (kebersihannya, racikannya, packagingnya) dan murah dan bisa dimakan oleh anak kecil sampai dewasa.
HapusOrang tua juga bisa berpartisipasi dalam fair bisa menjadi pembicara/nara sumber.
maaf pak. ini imajinasi saja. faktanya saya sendiri baru mencoba pada 1 pedagang dan itu susah... hahaha. tapi kan usaha ya pak.
Banyak teman, banyak belajar, banyak ilmu ya bu
BalasHapusIya bu. seangnya dikunjungi oleh Ibu Sri. alhamdulillah 1 musuh terlalu banyak, 100 teman masih kurang untuk menimba ilmu ya bu.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSetuju poool, mantap
BalasHapuskeren sekali ide tulisannya, semoga terus menginspirasi ya
BalasHapus