W |
Ruang
masih sepi dan gelap. Dia menekan tombol nyala lampu ruangan. Jaket tas dan
jingjingan buku dia letakan di meja guru yang lebar. Dia mengambil posisi di
pojok kanan di seberang pintu masuk ruangan. Kharisma mengeluarkan rangsum
makanan yang dia masak untuk anak-anak, suami dan dirinya pagi tadi. Dia
keluarkan juga senjata berjuangnya hari itu, laptop, tablet, gawai, tempat
pinsil dan dompet yang dia masukan ke dalam jingjingan buku referensi materi
hari itu.
Tiba-tiba gawainya berdering. Nomor yang biasa dia kenal selalu menyapanya sejak 10 tahun lalu tanpa dia tahu siapa orang tersebut. Telpon berdering berkali-kali. Ketika diangkat selalu dimatikan. Kharisma hanya tersenyum, dia tidak merasa terganggu lagi dengan kejadian itu. Dia mengikhlaskan semua yang terjadi seperti kejadian satu hari 5 bulan lalu. Saat seorang perempuan di telpon memarah-marahi dirinya sampai menuliskan kata-kata kotor di sms untuk dirinya. Dia sudah tidak menanggapinya. Dia hanya beranggapan, Allah pasti memberikan hal ini karena Allah sayang padanya. Ini lah cara Allah menguatkan hati umatnya.
Guru lain
pun mulai berdatangan satu persatu. Saat Kharisma menyuap nasi dan lauknya,
seorang siswi menghampirinya dan melepaskan tangis. Kharisma bertanya, “ eh..
kenapa nak..? ko menangis?” “ Oh ya... teruskan saja dulu menangisnya nak..”
sang siswa pun terus sesengukkan. Tiga menit kemudian dia menghentikan
siswanya. “Nah.. sekarang berhenti, tarik nafas lalu buang perlahan. Tenangkan
diri kamu ya nak” lanjutnya. Sang siswa menganggukkan kepalanya tanda setuju
dan mulai menyeka bulir-bulir air matanya yang tadi jatuh. Kharisma memberikan
tisunya.
“Sudah?”
“Ya.”
“ Bisa
bercerita sekarang?”
“ Aku
dimarahin mama pagi-pagi, padahal aku udah berusaha mengerjakan semuanya
sendiri seperti maunya mama tapi mamaku tetap aja marah ke aku.”
“Mama tidak
mungkin begitu saja marah nak, dia pasti punya alasan.”
“ Boleh ibu
tahu sebelumnya kamu mengerjakan apa?” lanjut Kharisma kemudian.
“Pas mama
minta aku ambilkan susu adikku aku diam aja, terus adikku nangis terus.”
“Saat kamu
disuruh mama kamu, kamu sedang melakukan apa? Bisa ditinggal atau tidak nak?”
“Aku lagi
kesel dengan teman-teman yang selalu aja menyindir aku. Mereka bilang aku si
cupu, tidak pernah gaul, ambekan, cengeng. Kenapa sih aku harus punya adik dan
aku dilahirin sebelum dia?”
“ Loh... ko
kamu keselnya jadi ke adikmu sih, nak? Kan adikmu tidak salah. Teman-teman kamu
kan yang menyindir kamu. Nah ya... jadi morang maring ndak jelas begitu deh? Nanti malah tidak
bisa belajar hari ini nak” tukas Kharisma bijak.
“Tapi aku
masih kesel bu.” Katanya merajuk.
“Ok. Gini
deh. Kamu sebenernya masih kesel ke adik kamu karena ibu kamu sejak kecil
menitipkan kamu ke nenek dan kakek kamu sementara sekarang adik kamu tidak
dititipkan tapi diurus oleh ibu kamu? Artinya kamu cemburu dengan adikmu, ya?
Atau kamu kesel ke teman-teman kamu yang sudah menyindir kamu kemarin?”
“Dua-duanya”
jawabnya singkat.
Kharisma menghela nafas dan tersenyum
padanya sambil mengelus kepala siswi dengan lembut dan menepuk pundaknya.
“Ok.
Kita punya waktu lima belas menit. Selebihnya kita bahas setelah pulang sekolah
ya.” Ucap Kharisma. Daniar, nama siswinya, pun mengangguk.
“ Tentang adik ya, kamu usianya
berapa?”
“Bulan September nanti baru 17 tahun”
“Adikmu berapa?”
“3 tahun” jawabnya.
“Masa gadis cantik seperti kamu
cemburu dengan adikmu yang baru tiga tahun? Adikmu hanya mengetahui dan meniru
semua gerakkan orang-orang dewasa. Kakek dan nenek kamu juga sudah tua, ibu
kamu sudah tidak lagi bekerja. Mungkin mereka memilih untuk menjaga, mengasuh
dan mendidik adikmu sendiri melihat kemungkinan yang terjadi padamu. Beliau
mungkin juga merasa bersalah pada kamu, maka beliau tidak ingin melakukan
kesalahan yang kedua dengan anaknya yang lain. Mama kamu dulu harus menitipkan
kamu ke nenek dan kakek bukan karena beliau benci kamu nak. Itu berhubungan
dengan masa depan kamu juga ko... sayang.”
“Baru satu ya... mudah-mudahan buat
kamu tenang. Kamu kan harus belajar,
jadi harus senang sekarang.... Bisakah?.. ntar ibu aja deh yang bilang
cengeng ya... hahaha, Nu’man pasti lari kalo kamu cengeng begitu... hehehe”
Pungkas Kharisma.
“Alhamdulillah bu, lumayan. Siap bu.
Tapi setelah pulang sekolah ya bu. Hari ini aku selesai jam 15.10 bu.” Sambil
sedikit tersenyum mendegar canda Kharisma kepadanya.
“Ok.. ok.. yuk apel dulu dan belajar
yang tenang ya...” Senyum ramahnya mengembang,
Tepat
jam 6.45, siswa-siswi sekolah dimana Kharisma bekerja melaksanakan apel pagi seperti biasa. Guru-guru pun
bersiap menuju medan kelasnya masing-masing, termasuk Kharisma. Jingjingan buku
yang tadi sudah dipersiapkan, langsung digamitnya dan dia pun menuju kelasnya.
Di
dalam kelas, ketika dia menyebutkan satu-persatu siswa, tiba-tiba ada seorang
anak yang masuk dengan baju keluar, celana panjang abu ketat restleting rusak,
rambut seperti topi di tengah dan rambut di sisi kanan-kiri habis dicukur. Senyum kemudian menghampiri Kharisma dan
mencium tangannya sambil berkata. “Pagi bu” ujarnya kemudian. “Ya. Pagi.”
Sedikit kecut wajahnya melihat tampilan sang siswa.
Kharisma
mulai melancarkan senjata awalnya. Nasihat pagi. Dia selalu mengkonsepkan dalam
dirinya, nasehat pagi bukan hanya sekedar nasehat untuk siswa-siswinya tetapi
juga nasehat untuknya sendiri sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Materi
pelajaran satu demi satu tersampaikan
olehnya dengan sabar. Dia melihat pada tatap mata siswa-siswinya ketika dia
menjelaskan, ada yang memahami dengan cepat, ada yang masih bingung, ada yang
masa bodoh dan cenderung sibuk dengan dirinya serta temannya. Dia pun
menyampaikan pertanyaannya.
“Alright,
would you tell us anymore what you know about passive voice, kids?” Kharisma
bertanya pada siswa-siswa yang hilang fokusnya.
“Hehe.. aku g ngerti bu!” katanya
tidak perduli.
“Well, I suppose that you pay
attention when I explain it anymore Ok.” Sejenak Kharisma terdiam dan menatap
tajam siswa-siswa itu.
Dia pun mengulangi penjelasannya
dengan materi Passive Voice melalui contoh-contoh mudah di sekitar kehidupan
siswa dengan penuh tawa.
“Miss, thank you. I know I know
sekarang”
Sahut salah satu siswa. Sugito anak
yang terakhir masuk dan sangat tidak perduli dengan penampilanpun. Akhirnya
menyahut, “Yes, Mom. When did you come to my class anymore?” Kharisma senyum
puas dan menjawab “I’ll come here again
next week my kids. And don’t forget to find all passive voices you know from what
everything you read at home on the road perhaps, right? See you next time”
tutupnya di kelas tersebut.
“Ms,
may I ask you something?” suara Gito menghadang Kharisma. “Yes. What do you
want to ask kid?” “May I purpose you Ms?” Gito bertanya yang mengejutkan.
“Hmmm...” Kharisma hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya dan berlalu
meninggalkan Gito yang terbahak-bahak bersama teman yang lainnya.
Akhirnya
Kharisma memanggil secara pribadi Gito di ruang Bimbingan. Dengan caranya, dia
memberikan pandangan tentang kalimat yang disampaikannya di depan umum tadi dan
membuat semua orang terbahak-bahak.
“Gito, kamu
anak yang pandai. Kata-kata kamu tidak salah begitupun pertanyaanmu. Tahukah
kamu nak, ibu lebih pantas sebagai orang tuamu. Bila kamu berkata seperti itu
ada 2 kemungkinan, kamu memang menyukai wanita yang lebih tua atau kamu sedang
memperolok-olok ibumu ini nak?”
Gito hanya
tertunduk malu. Kharisma melanjutkan pandangannya di depan guru Bimbingan dan
Karir. “Maaf ya mbak.” Ujarnya kepada Ibu Siti, Guru Bimbingan Karir Sekolah Kejuruan
“Cinta Nusantara” itu. Ibu Siti pun mengangguk.
“Coba Gito
lihat ke Ibu nak, Ibu tidak marah. Lihat dan perhatikan lah Ibu baik-baik?”
Gito memandang sekilas wajah Kharisma, lalu kembali tertunduk. “Bismillah,
sudah dilihat kan nak? Menurut Gito sebagai anak cerdas, wajarkah nak sikap
itu?” “Tidak, bu!” jawabnya. “Alhamdulillah.” Syukurnya setelah mendengar
jawaban Gito. “Maaf, ya nak. Memangnya, kamu ada masalah dengan orang tua mu
nak?” tanyanya sabar.
“Ya begitulah!”
“Maksud kamu apa nak?”
“Gak apa-apa”
“Oh ya sudah bila kamu tidak ada
masalah. Tapi ibu boleh bertanya padamu nak?” Gito menganggukan kepala. “Kamu
sayang dengan motor mu nak?”
“Ya bu.”
“Bila satu rodanya diambil orang,
apakah motormu masih lengkap nak?”
“Tidak”
“Mampukah berjalan?
“Tidak, bu”
“Tapi, bisakah itu diganti? Apakah
kamu marah pada orang yang mengambil?”
“Bisa bu..”
“Hmm.. lalu?”
“Apakah kamu marah pada orang yang
mengambil roda motor mu?”
“Ya, bu saya mau pukulin orang itu” Kharisma
tersenyum.
“Oh begitu..” lanjutnya.
“Kamu tidak Ikhlas menerima hal itu
nak?” Gito berwajah masam dan kesal ditanya oleh Kharisma seperti itu.
“Kenapa saya harus Ikhlas? Saya susah
payah ko dapetin roda motor itu dan mahal bu harganya. Masa malingnya main
ambil gitu aja” Kharisma mendengarkan tutur cerita Gito.
“Setiap yang hidup akan mati dan
kembali kepada Allah penciptanya”
“Ga ngerti bu! Apa nyambungnya ma roda
motor hilang?”
“Iya... ya.. “ Kharisma menyetujui
sambil tertawa. Gito pun tertawa.
“Nah. Begitu dong!” Ujarnya.
“Gito..., Intinya ibu bicara hal
penting, bukan dalam kapasitas emosi ya, artinya ibu tidak marah. Tapi ibu
ingin kamu yang cerdas ini tidak patut memperolok-olok siapapun dalam kapasitas
apapun. Ketika kamu melakukan hal tersebut artinya kamu mengambil satu hal yang
berguna untuk setiap manusia dihadapan manusia lain yaitu Penghargaan dan
Penghormatan diri. Kamu berkata tadi bila ada yang mengambil maka kamu akan
memukulinya. Begitupun Allah, bila seorang ibu diperlakukan tidak baik maka
Allah tidak akan Ridho kepadanya. Ketika Allah tidak ridho atau ikhlas, maka
cobaan silih berganti akan kamu terima dalam hidup kamu di bumi dan di akhirat.
Ibu tidak berharap itu nak. Ibu mengajar karena kamu adalah penerus bangsa ini.
Bagaimana jadinya bila penerus bangsa ini bersikap tidak baik pada guru, orang
tua dan para orang yang lebih tua. Hancur nak.” Sentuhnya menyadarkan Gito yang
tiba-tiba menangis tersedu-sedu dan memohon maaf berkali-kali.
Kharisma
pun sempat mengeluarkan airmata saat Gito mencium kakinya. Kharisma tidak
mengharapkan itu dan ia meminta Gito berdiri.
“Ibu
sudah memaafkanmu nak. Semoga Allah selalu bersamamu ya.”
Tidak
sadar waktu mengajar di kelas lain tiba. Kharisma menyelesaikan mengajarnya
dengan wajah penuh bahagia dan mengucapkan syukur berulang-ulang sebelum
kemudian masuk ke kelas yang terakhir hingga pukul 16.20. Dia terlewat untuk
mendengar cerita Daniar. “Biarlah Ini yang Allah berikan kepadaku hari ini.
Alhamdulillah” itulah yang terpikir di benaknya ketika dia beranjak pulang di
senja hari.
S E L E S A I
###
#30hariAISEIbercerita
#AISEIWritingChallenge
#100katabercerita
#pendidikbercerita
#warisanAISEI
#KomunitasSejutaGuruNgeblog
#AISEIInsiraAction
#KelasKreatif
#KOGTIK
#KomunitasSejutaGuruNgeblog(KGSN)
Kirain cerbung...😁
BalasHapusDitunggu cerpen lainnya bu
Nanti ya.. terimakasih ya
BalasHapusKereeeeen
BalasHapusTerimakasih pak
BalasHapusKeren Bu ceritanya...
BalasHapusLuar biasa buk..
BalasHapusKisahnya top
BalasHapus