HALU
RASA BINGUNG
Sesampainya
dia di jalan Gaharu 3, dimana Bapak Rahmat, ayah Mirna, tinggal bersama empat
adiknya yang masih butuh pendidikan menengah dan dasar sedang mengerjakan
dengan 2 gawai yang digunakan bergantian.
“Heru, sudah makan belum adik-adik?”
tanya Mirna ke Adiknya yang berada di sebuah SMK Negeri. Dia yang mengurus 3
adiknya yang SMP dan SD
“Sudah, Teh. Aku tadi bikinin Telor
dadar semuanya.”
“Ini teteh beliin Gado-gado buat
kalian. Makan ya buat siang ini.” Lalu dia menuju ke dapur. Menanakkan nasi
untuk adik-adiknya, memasakkan sayur bayam, ikan cue pedes dan tempe goreng. Sebagian
dia ambil untuk anak, Sandyakalaning dan suaminya makan.
“Ada yang susah engga? Ngerjain soalnya
dek?”
“Teh, Kata guru produktif harus
bikin analisis chart. Aku engga bisa kerjain karena kan ga ada komputer”
“Kapan harus selesai de?” tanyanya
ke Heru.
“Besok, Teh. Tugasnya udah dua
minggu yang lalu”
“Ya udah. Teteh sore ke sini lagi
ya. Kamu bantuin asik’adik ya.”
“Ini, Uang kalau ada apa2 ya.”
Mirna memberikan Heru lima puluh ribu sebagai pegangan.
“Tedi, Susan, Radiani.. Teteh
Pulang dulu ya; Sandhya sudah nungguin di rumah teman teteh.”
“Iya teh.”
“Heru, bilangin bapak. Makan, biar
enggak kumat asam lambungnya”
“Iya teh..” sambil mengantarkan
Mirna ke empat adiknya mencium tangan Mirna dengan santun. Mirna berjalan kurang lebih delapan ratus kilo
dari tempat dia menitipkan Sandhya ke rumah ayahnya. Sampailah dia di rumah Wanidya.
“Hai, sayang..” sapanya pada
Sandhya
“Alhamdulillah, bunda aku datang.” teriaknya
ceria.
“Eh.. Mir; dari tadi Sandhya
nanyain terus.” Jam memang sudah menunjukkan pukul 12. Sepertinya Sandhya tahu,
ibunya terlambat.
“Tadi, kerumah ayahku dulu. Liatin adik-adiku.”
Jelasnya
“Gimana mereka? Sehat?”
“Sehat, Cuma ayah aku kemarin sakit
Asam lambung, mungkin pikiran kali.” Senyum nya kecut sambil memalingkan wajah
agar tak terlihat oleh Wanidya, kesedihannya.
“Masya Allah. Semoga bapak segera
sembuh ya Mir”
“Aamiin. Makasih ya Wanidya. Udah mau
nungguin anakku; aku belum bisa kasih apa-apa sekarang ini ya.”
“Kayak ama siapa aja, Mir. Aku
punya pisang, bawa ya.. buat Sandhya”
“Iya makasih ya Wanidya. Aku
pulang dulu.” Sambil meminta Sandhya untuk mencium tangan Wanidya.
“Tante, besok aku boleh ya main
lagi sama Gani ya?”
“Boleh dong, Gani, besok Sandhya
main lagi katanya boleh engga?” dijawab dengan anggukan dan senyum anak yang
gempal karena apa yang enak dilahapnya dalam sekejap. Sementara melihat
Sandhya, sangat berbeda. Sandya sangat aktif dalam mengerjakan apapun, gesit
memutar otak ketika memainkan sesuatu permainan tertentu. Sandhya juga memakan
apa yang diberikan oleh ibunya. Dia tidak suka jajan karena Mirna tidak
membiasakan. Mirna membuatkan makanan sesuai kebutuhan anaknya.
“Unda, aku teh ya.. tadi main ma
Gani. Eh Gani teh kasian unda. Dia engga bisa lari. Kalau lari dia langsung
keringetan.” Sepanjang jalan menuju rumahnya. Sesampai di rumah. Mirna melihat
ada sepatu wanita yang bukan punya dia. Pintu rumah terkunci. Mirna menggunakan
kunci yang diberikan untuknya. Tidak bisa masuk.
“Assalamu’alaikum..?!” panggilnya
sambil mengetuk pintunya.
“Napa, Unda..” Mirna tegang.
Pikirannya melayang kemana-mana.
“Engga papa nak. Bunda, belum bisa
buka aja.” Menenangkan anaknya.
“Kamu ngantuk, sayang?” tambahnya lagi
“Iya.. un..”
“Sini Unda gendong”. Tidak lama
digendong Sandyakalaning tertidur. Mirna menunggu pintu rumahnya terbuka. Dia merasakan
ada yang aneh. Tadi pagi, dia mengunci pintu dari luar. Kuncinya dibawa dia. Kenapa
ini susah dibuka, pikirnya setelah menidurkan Sandyakalaning di dipan panjang
yang sengaja diletakkan di depan rumahnya.
“Haahh, ko sekarang bisa?”
pikirnya, sepatu perempuannya tetap ada. Dia buka pintu dan melihat masuk
sebelumnya dia simpan sepatu perempuan dia bawa masuk. Dan di dalam tidak ada
siapa-siapa, kosong. Dia kembali ke depan dan menggendong anaknya hati-hati
untuk dia tidurkan.
Mirna menunggu suaminya pulang, kebingungannya masih ada dalam pikirannya. Halusinasi yang dia rasakan membuatnya semakin takut ketika berada dalam rumah, belum lagi hujan lebat mengguyur dan petir menggelegar membuat dirinya makin dalam berhalusinasi Ada Apakah gerangan yang baru saja terjadi?
Sepertinya sang suami masih di Cafe Melati, Jl. Panarukan 12 A.
BalasHapus.
Deg...deg...deg...