BADAI ITU, BELUM USAI..
Malam itu hujan masih turun setengah
lebat. Suaranya di loteng rumah Mirna terdengar mengganggu. Mirna kembali ke
ruang tamu dan duduk di samping suaminya seperti diminta suaminya.
“Ayah mau Bunda jujur. Memang kenapa
bunda jual gawai bunda?”
“Maaf, ya yah sebelumnya. Bunda tidak
bicara dulu ke Ayah. Uang yang dikasih ayah sudah, aku pakai untuk membeli
keperluan rumah seirit mungkin. Tetapi masih kurang. Hari ini, susu Sandhya
habis, makanya bunda tinggal ke rumah bu Fifi yang katanya mau beli gawai untuk
anaknya yang SD. Bunda jualnya 850.000. Dia langsung terima.”
“Oh. Kenapa engga bilang ke Ayah, kalau
emang kurang uang. Kan Ayah bisa cari pinjaman ke kantor”
“Pinjaman kita sudah banyak, yah. Pinjaman
yang sebelumnya belum terbayar. Mereka selalu menagih ke aku, yah.”
“Hmm.. “ respondnya. Sambil menutup
wajahnya dan mengusap rambut dikepalanya. Mirna tidak mampu mendesak suaminya
untuk menjawab. Dia tahu pasti jawabnyapun sama dengan dirinya.
“Ya sudah. Besok; Ayah coba kerja
lembur aja. Dan cari sampingan. Ini tadi ada rezeki tips dari pelanggan. Dia
menyodorkan 5 uang lima puluh ribuan.” Jangan dipakai untuk yang lain ya.”
“Iya. Ayah tadi pergi kemana?”
“Ke Dodi.”
“Ayah Ketemu ma Mang Ujang dimana?”
“Enggak, engga ketemu mang Ujang”
Mirna tahu suaminya sedang menyembunyikan sesuatu. Mang Ujang tetangganya
bertemu dia di rumah Riana, pegawai administrasi bengkel. Karena Mang Ujang
adalah sepupu ayah Riana, beliau datang ke rumah Riana dengan alasan membantu
ayah Riana yang kebetulan pemilik “Riana Motor” dimana Hari bekerja. Mirna
tidak berpikir hal negatif. Tetapi ketika suaminya menyembunyikan hal sederhana
itu, dia mulai berasumsi yang kurang sehat. Dia belajar untuk diam, menerima
dan mencoba memahami situasi yang terjadi.
“Oh.” Itulah jawaban Mirna.
“ Bunda mau kemana? Sini dulu aja...”
pintanya pada Istrinya.
“Mau tidur. Besok mengajar pagi”
sahutnya pendek dan langsung mencari tempat di samping anaknya. Dia menghadap
ke tembok agar derai air matanya tidak terlihat oleh siapapun.
Dia
berpikir.
“aku, harus kuat demi anakku. Apapun
yang dilakukan oleh suamiku di luar biarlah Allah saja tempat berserah diri.”
Sematan itu menjadi do’anya kepada allah untuknya.
Hari
tetap duduk termenung memikirkan apa yang baru saja terjadi dalam
dirinya.
“Mengapa dia menjadi tidak merasa
nyaman bersama Mirna, Istri yang dia cintai dan sudah mendapatkan anak yang
pintar. Apakah karena dia telah melakukan kesalahan yang tidak disadarinya?
Salahkah dia jika dia ingin juga curhat pada temannya di kantor yang berbeda
jenis kelamin dengannya? Salahkah dia ketika dia ingin mencari tahu bagaimana
perasaan wanita pada wanita lain? Astagfirullah, astagfirullah..” Berulangkali
Hari berpikiran seperti itu sejak kejadian kemarin.
Pagi hari, Mirna tetap menganggap hal
kemarin hanya membuatnya menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Dia harus
memikirkan anaknya, adik-adiknya yang empat orang, adik Hari yang dua orang,
ayahnya yang tidak menikah lagi sejak Ibu wafat setahun lalu.
“Semangat!” begitu dia menyemangati
dirinya. Sambil membuatkan nasi goreng untuk sarapan Hari dan membawakan bekal
nasi bungkus bersama lauk pauk seadanya dan Botol Air minum yang sudah terisi. Menyiapkan
uang untuk membeli kebutuhan suaminya di tempat kerja. Kemudian menyiapkan
untuk dirinya dan anaknya yang akan dititipkan ke tetangganya. Membangunkan
suaminya, dan anaknya. Menyapu dan membersihkan rumah sementara suaminya
membantu memandikan Sandyakalaniing. Semua seperti tidak terjadi sesuatu. Tetapi
di masing-masing hati masih muncul banyak pertanyaan yang tidak terjawab.
Ada bau bau perselingkuhan nih...
BalasHapus"Mungkin yaaaa..."