COMPETITION
PENTINGKAH KESEPAKATAN BELAJAR?
Oleh Diah Trisnamayanti
Pembelajaran
Jarak Jauh (PJJ) yang kata lainnya Belajar dari Rumah (BDR) merupakan pola
belajar dengan menggunakan tekhnologi terbarukan di bidang telekomunikasi. Ketika pandemi Covid-19 makin bertambah kasus kemunculannya,
Pembelajaran Jarak jauh menjadi sasaran utama dalam pelaksana pendidikan di
tingkat dasar, menengah sampai dengan pendidikan tingkat tinggi. Ramai-ramai
melaksanakan virtual meeting,
ramai-ramai membuat konsep sendiri tentang virtual
meeting dan banyak hal lain yang berhubungan dengan sekolah, pendidikan
dibuat dengan gaya teknologi kekinian. Banyak kalangan menyoroti hal yang harus
dan tidak diajarkan saat pandemi tetapi tidak kokoh mencuat. Polemiknya
akhirnya hanya berkisar pada pulsa atau kuota internet.
Jika
ditilik dari sisi positifnya, teknologi memang sangat membantu sekali memajukan
pendidikan. Baik siswa maupun guru semakin meningkat kemampuan berbasis
teknologi. Penggunaan virtual classroom,
virtual meeting, searching material, video or film maker, audio visual meningkat.
Sudah pasti perusahaan provider dan penyedia konten juga bersaing ketat,
meningkatkan dan menambah fitur-fitur terbarunya. Niatnya, Fitur-fitur tersebut
mempermudah pengguna karena kecanggihanya. Tetapi terkadang keadaan sebaliknya,
justru menyulitkan, ternyata apa yang ingin disampaikan saat tatap muka
langsung menjadi tidak menyenangkan. Tidak tepat sasaran akhirnya.
Apalagi
setelah PJJ ini ditetapkan untuk dilaksanakan sampai pandemi mereda. Guru harus
membuat materi-materi sekreatif mungkin agar tidak membuat jenuh siswa selama
PJJ. Metode blended learning diprogramkan
agar membuat pembelajaran memiliki waktu yang singkat, efektif dan menyenangkan.
Guru secara otomatis berusaha keras menambah ilmu di bidang yang bukan
dunianya. Ini tantangan besar bagi guru-guru. Guru, yang berharap besar pada
peningkatan kualitas anak didiknya, akan mengejar kemampuan teknologi pembuatan
video atau film singkat, menjadi editor video atau film singkat pembelajaran,
berakting, menjadi pemeran utama atau menjadi produser. Tujuannya tidak lain
selain menjadi pusat perhatian siswa dari apa yang semestinya diajarkan sehingga
tetap mengarahkan siswa, setidaknya sedikit mengubah cara pandang siswa tentang
sesuatu dengan konsep yang menyenangkan. Siswa juga diharapkan tetap memiliki
rasa persaingan, perjuangan, keshabaran, ketegaran dan ketelitian dalam
menghadapi dilema kehidupan. Tetapi tidak semuanya memiliki pemikiran yang sama,
antara satu guru dengan guru yang lain
maka kecenderungan blended learning
sulit terwujud sempurna karena tiap guru terkadang memiliki konsep berbeda
sementara blended learning membutuhkan kerjasama dan kekompakan diantara pelaku
pembelajaran ini. Miris memang, itulah yang ada di masyarakat pendidikan di era
digital masa pandemi. Bagaimana selanjutnya agar pembelajaran benar-benar blended antara ilmu dan perilaku?
Sejujurnya,
mengajarkan sikap sopan, disiplin, tegar, bershabar, bertanggungjawab,
menghargai orang lain; lebih sulit dibanding mengajarkan kalimat bahasa Inggris
dengan rumusan tertentu; tapi bukan berarti tidak bisa. Sementara guru yang diharapkan
mengembangkan serta mendidik sikap-sikap itu harus menggunakan virtual sekarang
ini; saat sebelum pandemi saja, guru sulit sekali menekankan dan mendidik sikap
sopan, disiplin, tegar, bershabar, bertanggungjawab, menghargai orang lain secara
langsung. Mengapa? Karena mereka punya latar belakang pendidikan orang tua dan
lingkungan yang berbeda, pemberian Reward
dan Punishment karena tidak
bersikap sopan, disiplin, tegar,
bershabar, bertanggungjawab, menghargai orang lain tidak dilakukan dengan
kesepakatan yang sama. Sehingga pemikiran kritis mereka juga tidak terbangun
secara utuh di pergaulan mereka. Sudah
bisa dipastikan, pendidikan karakter disiplin, peka, toleran, shabar, kuat,
tegar dan sopan yang tidak akan muncul dalam keseharian mereka di lingkungan
rumah, lingkungan bermain, dan lingkungan belajar, inilah yang mempersulit guru
mengajarkan pendidikan karakter pada virtual
classroom. Apalagi guru tidak bisa menembus ruang dan waktu bersamaan pada semua
siswanya; Sebagai contoh, di group chat Whatssapp, banyak siswa yang justru
bertanya atau bercerita tanpa memperkenalkan diri dahulu, dan berbicara dengan
guru, layaknya teman sendiri, menggunakan kata gaul cenderung tidak menghormati
kepada yang lebih tua kadang kala. Tidak salah, tetapi mengendalikannya butuh
waktu dan proses yang lumayan lama. Kembali Guru ditantang menyelesaikan proses
yang tidak sederhana seperti tangkapannya. Mendidik membutuhkan proses yang
tidak sebentar dan mentransfer ilmu membutuhkan taktik dan strategi, inilah
yang tidak didiskusikan diantara guru mata pelajaran. Diskusi hanya berkisar bagaimana
performance videonya, bukan diskusi
tentang kira-kira apa yang ada di benak siswa ketika melihat video kita? Takjub
performancenya atau langsung kena sasaran materinya? Ini yang seharusnya mulai
digalakkan jika ingin menjadi guru yang maju. Penulis adalah guru yang juga penikmat
kerja keras Idol-idol K-POP dengan performance
mereka, yang bisa dinikmati dan diperhatikan lirik lagu yang ditulis dan disampaikan
oleh mereka, mengungkapkan bagaimana anak muda seharusnya; benar-benar banyak
belajar dari anak-anak muda besutan SM Entertainment, yang memiliki K-Pop
International School sebagai tempat untuk melatih anak-anak muda pilihan. Mereka
bekerja 24 jam, bersimbah peluh dalam melatih gerakan tari mereka sehingga
orang lain bisa mengambil hikmah sebagai kerja keras. Belajar bahasa entertain
dari negara-negara yang akan dikunjungi sehingga banyak penikmat atau kata lainnya
netizen menjadi lebih dihargai oleh idolnya. Para pemuda usia antara 14 - 28 melakukan
pelatihan sehingga mereka ahli di bidangnya dan bershabar untuk debut. Inti yang
mereka sebarkan kurang lebih yaitu belajar sebagai bentuk kerja keras yang harus dilatih dengan
shabar, efektif tetapi menyenangkan hati. Wajar saja bila para Idol K-POP
akhirnya famous di lima benua.
Guru
bukan famous yang diperlukan, tetapi
inovasi dan kreatifitas dalam mengemas pembelajaran. Siapapun bisa menjadi
guru. Tetapi seorang guru seutuhnya, akan merasakan frustasi yang meningkat dan
mengalami kejenuhan bila siswa-siswinya tidak merespon seperti yang diinginkan.
Itu biasanya menjadi bias bila sudah bertemu dengan kelucuan dari tingkah
siswa-siswinya. Guru hanya memiliki modal keyakinan dan percaya diri saja, untuk
menaklukkan hati anak-anaknya. Bukan karena melemah siswa-siswi tersebut mau
ditaklukan oleh guru, lebih pada menghargai kerja keras gurunya yang bersedia mendekat
kepada mereka, mengenali dan memahami situasi mereka. Akan tetapi ada yang lebih
ekstrim mengatakan karena sudah frustasi menghadapi bencana, maka mereka mulai menerima dengan terpaksa
kehadiran gurunya.
Boleh
jadi kata yang paling sering disampaikan oleh siswa saat menghadapi situasi
bencana seperti ini adalah kata frustasi. Ternyata bukan hanya siswa yang
frustasi, terkadang guru dan orang tua menghadapi keadaan yang tidak diinginkan
bisa menjadi frustasi. Di sini perlunya
komunikasi dengan pemikiran jernih; baik guru maupun orang tua pun sama. Apabila
siswa frustasi karena masa bermainnya yang kurang, guru frustasi karena
siswanya tidak mampu menyerap materi yang dipikirkan dalam blended learning atau tugas-tugas yang diberikan belum lagi sering
tidak memberikan respond saat masuk
jam belajar, bersikap masa bodoh dengan pelajaran. Orang tua frustasi karena
malu bila siswanya diinformasikan tidak masuk dalam kegiatan pembelajaran atau
tidak mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, makin semau gue saat di rumah,
sulit membangunkan mereka karena kebiasaan tidur malam pada anak-anak remaja
belasan tahun, yang menganggap dirinya sudah dewasa, sulit mendisiplinkan
anak-anaknya sendiri, sementara spp tetap berjalan seperti biasa dan seterusnya.
Contoh kasus yang terjadi berdasarkan pengalaman, ada seorang siswa saat
pandemi hanya masuk pembelajaran kurang lebih 2-5 kali dalam sebulan
pembelajaran, jarang mengerjakan tugas, bersikap menentang peraturan yang ada,
mencoba lari dari kebisingan dengan mendaki gunung atau camping. Seberapa keras orang tua meminta anaknya menyadari
perilaku yang menjengkelkan, seperti itulah mereka akan bersikap kepada kita.
Anak remaja kurang suka dikepoin alias
dicari tahu apa yang dia suka atau yang sedang dilakukan, dia juga tidak suka
dianggap anak kecil, tidak mengerti situasi, dinasehati berlama-lama atau dilarang
banyak hal. Sementara guru maupun orang tua ada di posisi adult, terkadang juga serba salah saat orang tua atau guru tidak
melakukan pemantauan atau pengawasan ada saja yang terjadi dan bukan positif
yang dilakukan. Inilah yang perlu dikomunikasikan diantara anak dan orang tua
atau siswa dengan guru. Komunikasi itu bisa tegas, bisa juga sedang atau
melemah. Semua tergantung kasus dan latar belakang pendidikan di dalam keluarga
tersebut.
Oleh
karena itu, antara guru, orang tua dan siswa memiliki kesepakatan bersama untuk
apa yang akan dilaksanakan bersama. Konsekuensi positif (reward) dan negatif
(punishment) juga perlu disepakati bersama agar terjadi sinergi dalam
pelaksanaanya. Tidak jauh berbeda kepada guru, sekolah dan pemerintah atau
masyarakat (orang tua), pemerintah daerah dan pusat. Kesepakatan sangatlah
penting untuk melihat seberapa jauh norma yang dapat diterapkan dan bagaimana
mengatasi kesenjangan yang terjadi diantaranya. Penghargaan sebagai reward harus menjadi kekuatan lain dalam
pelaksanaan kebijakan yang berlaku. Penghargaan biasanya acuannya adalah honor.
Untuk memunculkan jiwa kompetitif di dalam masyarakat perlu patokan dasar
capaian dari satu Rukun Tetangga, Rukun Warga sampai dengan ke Desa. Artinya
pendidikan jangan hanya sekedar pengaitan siswa dengan sekolah, tetapi
masyarakat dengan sekolah juga perlu dibuatkan platform. Contoh dalam satu
wilayah pasti ada RT, RW, Lurah, Camat, Bupati/Wlikota, Gubernur. Kontribusi paling besar dari sekolah yang ada
di sekitar itu apa, sekolah A memperbaiki tatanan sikap dan perilaku penjual-penjual
di sekitar sekolah. Ketua RT/RW/Lurah/Camat/Gubernur memberikan tindakan tegas
kepada pedagang keliling maupun menetap yang membiarkan siswa binaan suatu
sekolah melakukan tindakan tidak terpuji dan memberikan reward tambahan modal atau kemudahan mendapatkan insentif dari UMKM
bagi pedagang yang bisa bekerjasama dengan siswa untuk menjaga sikap baik dan
positif, tidak menipu dan lain-lain.
Dari
hal tersebut, kearifan lokal dapat tergali. Kelurahan B dengan jumlah RW 25, RT
50, dan Kepala keluarga kaya, menengah, miskin sebanyak 500 sampai dengan 600
dapat menghasilkan aliagrem (makanan
khas Jawa Barat) sebanyak 300 kwintal untuk siap dipasarkan bekerjasama dengan
SMK C di bagian boga, SMK E di bagian Rekayasa perangkat lunak, SMK F di bagian
penghitungan keuntungan. Aliagrem buatan bersama harus diuji kadar vitamin dan
lain-lain, pemerintah dan Universitas bisa membantu menguatkan. Apabila daerah
tersebut akan membuat produk lain selain makanan sebagai kearifan lokalnya,
sebaiknya ambil produk mesin/ alat pembuat aliagrem/ tungku/ pisau/pengocok
telur agar persaingan dengan desa lain semakin beragam dan pemanfaatan sekolah
peluangnya lebih besar. Wilayah ini pun dapat menyerap tenaga kerja SMK-SMK
untuk membuka usaha atau ini juga harus
memiliki kematangan berpikir yang tidak ambisius pada keuntungan sepihak tetapi
bersama. Mulailah dengan kesepakatan, pertimbangan, kebijakan dan pelaksanaan
yang mencerahkan masyarakat. TANTANGAN KESPAKATAN
DALAM BELAJAR
Oleh Diah Trisnamayanti
Pembelajaran
Jarak Jauh (PJJ) yang kata lainnya Belajar dari Rumah (BDR) merupakan pola
belajar dengan menggunakan tekhnologi terbarukan di bidang telekomunikasi. Ketika pandemi Covid-19 makin bertambah kasus kemunculannya,
Pembelajaran Jarak jauh menjadi sasaran utama dalam pelaksana pendidikan di
tingkat dasar, menengah sampai dengan pendidikan tingkat tinggi. Ramai-ramai
melaksanakan virtual meeting,
ramai-ramai membuat konsep sendiri tentang virtual
meeting dan banyak hal lain yang berhubungan dengan sekolah, pendidikan
dibuat dengan gaya teknologi kekinian. Banyak kalangan menyoroti hal yang harus
dan tidak diajarkan saat pandemi tetapi tidak kokoh mencuat. Polemiknya
akhirnya hanya berkisar pada pulsa atau kuota internet.
Jika
ditilik dari sisi positifnya, teknologi memang sangat membantu sekali memajukan
pendidikan. Baik siswa maupun guru semakin meningkat kemampuan berbasis
teknologi. Penggunaan virtual classroom,
virtual meeting, searching material, video or film maker, audio visual meningkat.
Sudah pasti perusahaan provider dan penyedia konten juga bersaing ketat,
meningkatkan dan menambah fitur-fitur terbarunya. Niatnya, Fitur-fitur tersebut
mempermudah pengguna karena kecanggihanya. Tetapi terkadang keadaan sebaliknya,
justru menyulitkan, ternyata apa yang ingin disampaikan saat tatap muka
langsung menjadi tidak menyenangkan. Tidak tepat sasaran akhirnya.
Apalagi
setelah PJJ ini ditetapkan untuk dilaksanakan sampai pandemi mereda. Guru harus
membuat materi-materi sekreatif mungkin agar tidak membuat jenuh siswa selama
PJJ. Metode blended learning diprogramkan
agar membuat pembelajaran memiliki waktu yang singkat, efektif dan menyenangkan.
Guru secara otomatis berusaha keras menambah ilmu di bidang yang bukan
dunianya. Ini tantangan besar bagi guru-guru. Guru, yang berharap besar pada
peningkatan kualitas anak didiknya, akan mengejar kemampuan teknologi pembuatan
video atau film singkat, menjadi editor video atau film singkat pembelajaran,
berakting, menjadi pemeran utama atau menjadi produser. Tujuannya tidak lain
selain menjadi pusat perhatian siswa dari apa yang semestinya diajarkan sehingga
tetap mengarahkan siswa, setidaknya sedikit mengubah cara pandang siswa tentang
sesuatu dengan konsep yang menyenangkan. Siswa juga diharapkan tetap memiliki
rasa persaingan, perjuangan, keshabaran, ketegaran dan ketelitian dalam
menghadapi dilema kehidupan. Tetapi tidak semuanya memiliki pemikiran yang sama,
antara satu guru dengan guru yang lain
maka kecenderungan blended learning
sulit terwujud sempurna karena tiap guru terkadang memiliki konsep berbeda
sementara blended learning membutuhkan kerjasama dan kekompakan diantara pelaku
pembelajaran ini. Miris memang, itulah yang ada di masyarakat pendidikan di era
digital masa pandemi. Bagaimana selanjutnya agar pembelajaran benar-benar blended antara ilmu dan perilaku?
Sejujurnya,
mengajarkan sikap sopan, disiplin, tegar, bershabar, bertanggungjawab,
menghargai orang lain; lebih sulit dibanding mengajarkan kalimat bahasa Inggris
dengan rumusan tertentu; tapi bukan berarti tidak bisa. Sementara guru yang diharapkan
mengembangkan serta mendidik sikap-sikap itu harus menggunakan virtual sekarang
ini; saat sebelum pandemi saja, guru sulit sekali menekankan dan mendidik sikap
sopan, disiplin, tegar, bershabar, bertanggungjawab, menghargai orang lain secara
langsung. Mengapa? Karena mereka punya latar belakang pendidikan orang tua dan
lingkungan yang berbeda, pemberian Reward
dan Punishment karena tidak
bersikap sopan, disiplin, tegar,
bershabar, bertanggungjawab, menghargai orang lain tidak dilakukan dengan
kesepakatan yang sama. Sehingga pemikiran kritis mereka juga tidak terbangun
secara utuh di pergaulan mereka. Sudah
bisa dipastikan, pendidikan karakter disiplin, peka, toleran, shabar, kuat,
tegar dan sopan yang tidak akan muncul dalam keseharian mereka di lingkungan
rumah, lingkungan bermain, dan lingkungan belajar, inilah yang mempersulit guru
mengajarkan pendidikan karakter pada virtual
classroom. Apalagi guru tidak bisa menembus ruang dan waktu bersamaan pada semua
siswanya; Sebagai contoh, di group chat Whatssapp, banyak siswa yang justru
bertanya atau bercerita tanpa memperkenalkan diri dahulu, dan berbicara dengan
guru, layaknya teman sendiri, menggunakan kata gaul cenderung tidak menghormati
kepada yang lebih tua kadang kala. Tidak salah, tetapi mengendalikannya butuh
waktu dan proses yang lumayan lama. Kembali Guru ditantang menyelesaikan proses
yang tidak sederhana seperti tangkapannya. Mendidik membutuhkan proses yang
tidak sebentar dan mentransfer ilmu membutuhkan taktik dan strategi, inilah
yang tidak didiskusikan diantara guru mata pelajaran. Diskusi hanya berkisar bagaimana
performance videonya, bukan diskusi
tentang kira-kira apa yang ada di benak siswa ketika melihat video kita? Takjub
performancenya atau langsung kena sasaran materinya? Ini yang seharusnya mulai
digalakkan jika ingin menjadi guru yang maju. Penulis adalah guru yang juga penikmat
kerja keras Idol-idol K-POP dengan performance
mereka, yang bisa dinikmati dan diperhatikan lirik lagu yang ditulis dan disampaikan
oleh mereka, mengungkapkan bagaimana anak muda seharusnya; benar-benar banyak
belajar dari anak-anak muda besutan SM Entertainment, yang memiliki K-Pop
International School sebagai tempat untuk melatih anak-anak muda pilihan. Mereka
bekerja 24 jam, bersimbah peluh dalam melatih gerakan tari mereka sehingga
orang lain bisa mengambil hikmah sebagai kerja keras. Belajar bahasa entertain
dari negara-negara yang akan dikunjungi sehingga banyak penikmat atau kata lainnya
netizen menjadi lebih dihargai oleh idolnya. Para pemuda usia antara 14 - 28 melakukan
pelatihan sehingga mereka ahli di bidangnya dan bershabar untuk debut. Inti yang
mereka sebarkan kurang lebih yaitu belajar sebagai bentuk kerja keras yang harus dilatih dengan
shabar, efektif tetapi menyenangkan hati. Wajar saja bila para Idol K-POP
akhirnya famous di lima benua.
Guru
bukan famous yang diperlukan, tetapi
inovasi dan kreatifitas dalam mengemas pembelajaran. Siapapun bisa menjadi
guru. Tetapi seorang guru seutuhnya, akan merasakan frustasi yang meningkat dan
mengalami kejenuhan bila siswa-siswinya tidak merespon seperti yang diinginkan.
Itu biasanya menjadi bias bila sudah bertemu dengan kelucuan dari tingkah
siswa-siswinya. Guru hanya memiliki modal keyakinan dan percaya diri saja, untuk
menaklukkan hati anak-anaknya. Bukan karena melemah siswa-siswi tersebut mau
ditaklukan oleh guru, lebih pada menghargai kerja keras gurunya yang bersedia mendekat
kepada mereka, mengenali dan memahami situasi mereka. Akan tetapi ada yang lebih
ekstrim mengatakan karena sudah frustasi menghadapi bencana, maka mereka mulai menerima dengan terpaksa
kehadiran gurunya.
Boleh
jadi kata yang paling sering disampaikan oleh siswa saat menghadapi situasi
bencana seperti ini adalah kata frustasi. Ternyata bukan hanya siswa yang
frustasi, terkadang guru dan orang tua menghadapi keadaan yang tidak diinginkan
bisa menjadi frustasi. Di sini perlunya
komunikasi dengan pemikiran jernih; baik guru maupun orang tua pun sama. Apabila
siswa frustasi karena masa bermainnya yang kurang, guru frustasi karena
siswanya tidak mampu menyerap materi yang dipikirkan dalam blended learning atau tugas-tugas yang diberikan belum lagi sering
tidak memberikan respond saat masuk
jam belajar, bersikap masa bodoh dengan pelajaran. Orang tua frustasi karena
malu bila siswanya diinformasikan tidak masuk dalam kegiatan pembelajaran atau
tidak mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, makin semau gue saat di rumah,
sulit membangunkan mereka karena kebiasaan tidur malam pada anak-anak remaja
belasan tahun, yang menganggap dirinya sudah dewasa, sulit mendisiplinkan
anak-anaknya sendiri, sementara spp tetap berjalan seperti biasa dan seterusnya.
Contoh kasus yang terjadi berdasarkan pengalaman, ada seorang siswa saat
pandemi hanya masuk pembelajaran kurang lebih 2-5 kali dalam sebulan
pembelajaran, jarang mengerjakan tugas, bersikap menentang peraturan yang ada,
mencoba lari dari kebisingan dengan mendaki gunung atau camping. Seberapa keras orang tua meminta anaknya menyadari
perilaku yang menjengkelkan, seperti itulah mereka akan bersikap kepada kita.
Anak remaja kurang suka dikepoin alias
dicari tahu apa yang dia suka atau yang sedang dilakukan, dia juga tidak suka
dianggap anak kecil, tidak mengerti situasi, dinasehati berlama-lama atau dilarang
banyak hal. Sementara guru maupun orang tua ada di posisi adult, terkadang juga serba salah saat orang tua atau guru tidak
melakukan pemantauan atau pengawasan ada saja yang terjadi dan bukan positif
yang dilakukan. Inilah yang perlu dikomunikasikan diantara anak dan orang tua
atau siswa dengan guru. Komunikasi itu bisa tegas, bisa juga sedang atau
melemah. Semua tergantung kasus dan latar belakang pendidikan di dalam keluarga
tersebut.
Oleh
karena itu, antara guru, orang tua dan siswa memiliki kesepakatan bersama untuk
apa yang akan dilaksanakan bersama. Konsekuensi positif (reward) dan negatif
(punishment) juga perlu disepakati bersama agar terjadi sinergi dalam
pelaksanaanya. Tidak jauh berbeda kepada guru, sekolah dan pemerintah atau
masyarakat (orang tua), pemerintah daerah dan pusat. Kesepakatan sangatlah
penting untuk melihat seberapa jauh norma yang dapat diterapkan dan bagaimana
mengatasi kesenjangan yang terjadi diantaranya. Penghargaan sebagai reward harus menjadi kekuatan lain dalam
pelaksanaan kebijakan yang berlaku. Penghargaan biasanya acuannya adalah honor.
Untuk memunculkan jiwa kompetitif di dalam masyarakat perlu patokan dasar
capaian dari satu Rukun Tetangga, Rukun Warga sampai dengan ke Desa. Artinya
pendidikan jangan hanya sekedar pengaitan siswa dengan sekolah, tetapi
masyarakat dengan sekolah juga perlu dibuatkan platform. Contoh dalam satu
wilayah pasti ada RT, RW, Lurah, Camat, Bupati/Wlikota, Gubernur. Kontribusi paling besar dari sekolah yang ada
di sekitar itu apa, sekolah A memperbaiki tatanan sikap dan perilaku penjual-penjual
di sekitar sekolah. Ketua RT/RW/Lurah/Camat/Gubernur memberikan tindakan tegas
kepada pedagang keliling maupun menetap yang membiarkan siswa binaan suatu
sekolah melakukan tindakan tidak terpuji dan memberikan reward tambahan modal atau kemudahan mendapatkan insentif dari UMKM
bagi pedagang yang bisa bekerjasama dengan siswa untuk menjaga sikap baik dan
positif, tidak menipu dan lain-lain.
Dari
hal tersebut, kearifan lokal dapat tergali. Kelurahan B dengan jumlah RW 25, RT
50, dan Kepala keluarga kaya, menengah, miskin sebanyak 500 sampai dengan 600
dapat menghasilkan aliagrem (makanan
khas Jawa Barat) sebanyak 300 kwintal untuk siap dipasarkan bekerjasama dengan
SMK C di bagian boga, SMK E di bagian Rekayasa perangkat lunak, SMK F di bagian
penghitungan keuntungan. Aliagrem buatan bersama harus diuji kadar vitamin dan
lain-lain, pemerintah dan Universitas bisa membantu menguatkan. Apabila daerah
tersebut akan membuat produk lain selain makanan sebagai kearifan lokalnya,
sebaiknya ambil produk mesin/ alat pembuat aliagrem/ tungku/ pisau/pengocok
telur agar persaingan dengan desa lain semakin beragam dan pemanfaatan sekolah
peluangnya lebih besar. Wilayah ini pun dapat menyerap tenaga kerja SMK-SMK
untuk membuka usaha atau ini juga harus
memiliki kematangan berpikir yang tidak ambisius pada keuntungan sepihak tetapi
bersama. Mulailah dengan kesepakatan, pertimbangan, kebijakan dan pelaksanaan
yang mencerahkan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
your opinion