PETUAH JITU
MENGHADAPI BELANTARA DUNIA
Oleh Diah Trisnamayanti, S.S.
Pengajar Bahasa Inggris SMK MedikaCom Bandung
Saya
di lahirkan sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Ketika saya kecil, saya
dan keluarga tinggal di antara masyarakat sipil di wilayah Jakarta Selatan.
Kami diajarkan oleh ibu dan bapak untuk shalat lima waktu dan percaya pada
Allah S.W.T dan menyayangi pada setiap manusia/makhluk Allah. Mengaji di waktu
maghrib adalah kebiasaan yang dibangun oleh Ibu saya pada keempat anaknya. Itu
masih kami lakukan hingga saat ini.
Beliau
setelah selesai shalat maghrib menjelang Isya selalu bercerita atau mendongeng
tentang nenek dan kakek kami yang berjuang melawan tentara Belanda dan
menjelaskan bagaimana peristiwa memilukan dirasakan saat gerombolan DI/TII
menyerang paman dan saudara-saudara ibu kala itu. Beliau tidak menyalahkan
gerombolan itu. Beliau hanya mengatakan tindakan gerombolan itu tidak terpuji
dan jauh dari jalan Allah. Begitupun saat beliau menceritakan bagaimana
tetangga-tetangga kami terciduk sebagai pengikut gerakan G30S PKI. Ibu dan
Bapak hanya mengajarkan kepada kami bahwa tujuan yang tidak dilandasi oleh
Agama dan keyakinan pada Tuhan yang Maha Esa bisa membuat manusia salah arah.
Itulah mengapa mereka berdua mengajarkan anak-anaknya menghapal Al Qur’an meskipun
Ibu tidak mengetahui metode terbaik untuk menghapal. Saya dan kakak-kakak
disekolahkan agama ketika sore hari sepulang dari sekolah negeri saat itu. Tujuan Ibu bukan membuat kami sibuk les.
Tetapi beliau tahu kekurangan beliau yang hanya tamatan Sekolah Rakyat saja,
dia ingin anak-anaknya terdidik agar menjadi orang yang selalu dirahmati Allah,
lebih dari dirinya.
Ibu
dan bapak bukan seorang yang kaya raya. Ibu hanya seorang perawat PNS sebuah
rumah sakit ABRI, Bapak hanya seorang tentara prajurit biasa yang juga belajar
sebagai perawat di rumah sakit yang sama. Gaji mereka hanya cukup untuk kami
makan, maka ibu juga berjualan kelontong seadanya karena di rumah kami tinggal
keponakan dan sepupu-sepupu bapak dan ibu. Hidup kami yang pas-pasan tidak membuat
ibu dan bapak berputus asa. Beliau mengajarkan kepada kami semangat menjalani
hidup yang diberikan oleh Allah. Menurut mereka, semua ada jalannya. Oleh
karena itu kami pun diajarkan oleh mereka bagaimana susahnya mencari nafkah
yang halal. Kami anak-anaknya diajarkan untuk berbagi tugas. Kakak tertua saya
bertugas mengantarkan saya ke pasar membeli bahan masakan yang akan ibu jual di
kantin kantor ibu. Ketika kakak tertua kuliah di kota yang berbeda, kakak ke
dua menggantikan posisi kakak saya tertua sebagai pengantar ibu atau saya
belanja. Adik saya tetap belajar. Setelah beranjak dewasa dan kami sudah
berkeluarga tugas kami bertiga menjaga dan merawat ibu dan bapak digantikan
oleh adik saya. Semua kami lakukan seperti dalam do’a ibu dan bapak agar kami
berguna satu sama lain dan saling mendukung.
Mereka
mengajarkan bergotong royong diantara tetangga di kampung kami waktu itu. Tanah
seluas 60 meter, dijadikan tempat tinggal kami. Bahkan Ibu selalu membagi makanan (Kue), yang
didapat dari kenduri saat itu menjadi 4 bagian. Ibu memiliki filosofinya
sendiri, beliau mengatakan dengan bijak kue ini di bagi 4 bagian agar “kalian
berempat bisa saling merasakan bila yang lain sakit dan senang bila kalian
mendapat kebaikan ketika ibu dan bapak, nanti tidak ada lagi di dunia”. Apa
yang ibu sampaikan kepada kamu adalah benar-benar barakah yang luar biasa. Kami
benar-benar terikat satu sama lain ketika ibu dan bapak dipanggil Allah S.W.T.
masyarakat di sekitar rumah tinggal ibu dan bapak sangat hormat kepada mereka.
Terkadang mereka menjadi pelopor untuk kegiatan amal di sekitar rumah dan desa
di mana kami tinggal.
Ibu
mengajarkan pada saya sebagai anak perempuan tertua harus mengerti memasak,
mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, dan menjaga adik selama ibu dan bapak
kerja. Ibu saya mengajarkan anak-anaknya dengan cara yang berbeda-beda. Beliau
mendapatkan metode ini dengan cara berdiskusi dengan para dokter di rumah sakit
di mana beliau bekerja. Pandangan dan wawasan para dokter dijadikan pegangan
untuk beliau mengajarkan dan mendidik putra-putrinya sejak kanak-kanak hingga
dewasa. Ibu kala itu menceritakan pada saya saat saya bingung mengambil jurusan
untuk kuliah. “Diah, ambil jurusan bahasa/Sastra Inggris seperti Teteh
(Keponakan ibu saya). Dengan begitu, kalau kamu tidak bekerjapun, kamu bisa
mengajarkan anakmu bahasa dengan tutur yang baik, berpikir yang cerdas, dan
prigel” Pesan itu yang membuat saya mengambil jurusan Sastra Inggris
Universitas Nasional Jakarta, yang waktu itu Rektornya, Pujangga terkenal Sutan
Takdir Alisyahbana. Saya memang tidak
lulus tepat waktu seperti teman yang lain. Ketidak adaan biaya dan harus
bergantian pembayaran SPP adik, bayar kuliah kakak jadi faktor utama. Tetapi
buat saya, itu mungkin cara Allah mengajarkan kepada saya agar tetap berusaha,
seperti ibu dan bapak yang berusaha tanpa kenal lelah karena setiap kali pulang
kerja mereka berdua meminta saya dan adik bergantian memijit mereka. Dengan
cara itu, mereka menyampaikan kasih sayang kepada kami secara tidak kami duga.
Sekeras-keras
dan tegasnya bapak, beliau pun mengajarkan dan mendidik putra-putrinya harus
berada di posisi yang netral dalam menghadapi konflik apapun. Berani untuk
mengatakan yang benar dan mampu untuk memaafkan diri sendiri dan orang lain.
Berani juga untuk menerima tantangan dari kehidupan ini. Bapak selalu
mengajarkan pada kami sholat berjama’ah baik di rumah maupun di masjid saat
bulan ramadhan. Bapak yang mengambil pendidikan anestesi di masa mudanya menjadi
perawat mahir di bidang Anestesi. Ketika kami tinggal di lingkungan masyarakat
dan di kompleks ABRI tidak satupun dari kami (anak-anaknya) mengenal
obat-obatan terlarang maupun pistol. Bapak menyimpannya dengan rapi sehinga
tidak satupun dari kami mengetahui hal-hal tersebut. Jika bapak sudah
menempatkan di suatu tempat seperti itu, tanda bahwa barang tersebut adalah
milik orang lain dan tidak boleh dilanggar. Pernah suatu kali, bapak membawa
kokain satu plastik untuk persediaan di rumah sakit yang tidak sengaja bapak
bawa malam setelah pulang jaga malam karena ada insiden tertentu saat itu.
Kakak saya yang menemukan itu di bagasi motor vespa bapak. Dia justru
mengingatkan pada bapak.“Pak, itu di kantung plastik, aku temukan barang yang
tidak boleh diketahui oleh orang. Nanti bapak disalahkan, bawa barang itu. Aku
simpan di almari bapak di kamar.” Kata kakak saya saat itu. Pernyataan itu, saya ingat dengan jelas karena
saya ada di dekat bapak saat itu. Entah bagaimana kakak saya bisa tahu kalau
itu barang yang tidak boleh di bawa ke rumah.
Beliau
meminta maaf atas keteledoran meletakkan barang yang beresiko meski itu sama
anaknya sendiri sementara dia adalah aparat hukum (ABRI). Itulah hebatnya bapak
saya. Dia tidak pernah memarahi anaknya bila memang salah. Tetapi beliau mengajak
kami mencari solusi yang tepat dari permasalahan yang ada. Ini pun diikuti oleh
kami anak-anaknya dalam menghadapi permasalahan di dalam keluarga inti maupun
keluarga besar. Begitupun Ibu saya, beliau tidak berpendidikan tinggi tetapi
beliau kaya akan wawasan berpikir sehingga beliau mampu membuat anak-anaknya
menjadi sarjana strata satu semua. Menurut ibu, Ibu dan bapak tidak punya harta
berlimpah, untuk menjadi lebih dari yang dilakukan ibu dan bapak saat itu. Bagi
mereka seorang anak harus belajar kerja keras, banyak membaca, berkomunikasi
dengan sopan, bisa menempatkan diri, mampu bangkit sendiri ketika jatuh, harus
berbagi, peduli pada sekitar, sayang pada sesama, sayang pada lingkungan.
Oleh karena itu, beliau berdua di masa tua
sudah merelakan kehidupannya akan sepi bila keempat anaknya mulai berlayar
dengan sampannya masing-masing. Mereka menjadi panutan kami ketika kami
anak-anaknya menghadapi persoalan kehidupan yang nyata kami alami; baik dalam
bekerja maupun berumahtangga. Mereka masih memberikan sumbangsih jalan keluar
yang baik untuk semua jika mereka mampu. Bila pun tidak, do’a mereka pada Allah
S.W.T. adalah bukti yang tidak bisa disangkal. Tiap dari kami ada yang
mengalami jatuh dan bangun dalam hidup berkeluarga; kami pasti memimpikan
mereka hadir di tengah kami. Mereka memberikan solusi yang tidak emosional.
Jika ada perasaan yang emosional terjadi, mereka biasanya mendiskusikan
langsung pada orangnya. Saya bangga memiliki ibu dan bapak saya yang meski
bukan lah siapa-siapa di mata orang-orang tetapi mereka selalu ada untuk kami
dalam hati kami dan kami selalu berjuang untuk hidup dalam kebaikan di jalan
allah agar membuat mereka tetap dalam surga Allah.
Beliau
selalu mengingatkan untuk membayar utang bila memang kita berhutang dan tidak
membenarkan berhutang. Belajarlah bersyukur dari apa yang dimiliki meskipun
hanya sedikit. Kerja keras adalah jawabanya. Jika ada sesuatu terjadi yang
tidak sesuai dengan kebijakan secara idealis, katakan sejujurnya dan jauhkan
diri dari ambigu persoalan itu. Jangan mencubit bila kamu tidak ingin disakiti,
adalah kata-kata bijak yang banyak ibu dan bapak sampaikan pada kami
anak-anaknya dan cucu-cucunya. Sehingga
meskipun kami berjauhan tinggal kami - kakak beradik - saling mengawasi dan
memberikan dukungan dari apa yang terjadi. Kami lebih sering sharing pendapat
bila sesuatu terjadi.
Dasar-dasar
dari pemikiran ibu dan bapak yang hanya orang biasa, membuat saya sebagai
seorang guru berpikir keras ketika saya harus mendidik siswa-siswi dalam
rentang usia remaja. Tiap fase perkembangan seorang anak manusia memiliki
perbedaan dan keunikannya sendiri. Itulah mengapa saya mengadopsi pemikiran
bapak dan ibu saya sebagai pola berpikir
cerdas dalam mengatasi dilema kehidupan. Analogi cantik yang disampaikan
seorang teman guru bahwa hidup layaknya sebuah hutan belantara. Sekolah itu
adalah "kawah candradimuka" di mana siswa dan siswi diolah pemikirannya agar
mampu menghadapi ganasnya hutan belantara yang kemungkinan ada hewan buas,
jurang, kelaparan, kengerian, kelicikan, halusinasi dan lain-lain sehingga
dapat keluar dengan tanpa cacat dan selamat. Selain strategi, manusia juga
harus berserah diri kepada Tuhan YME (Allah S.W.T) dalam menghadapi segala persoalan.
Keselamatan bukan hanya di dunia tetapi keselamatan di akhirat. Itulah pemenang
sebenarnya.
Segala
upaya manusia adalah proses menjadi pribadi yang lebih baik. Hello to Hero Challenge (H2C) cara terbaik menelusuri kebaikan yang muncul ketika kita hidup. Karena
manusia adalah bagian dari pengelolaan sebuah peradaban yang memiliki nalar,
intuisi dan akal sehat, maka jadikan diri manusia itu mulia mengelola pemikiran
untuk disebarkan pada khalayak dalam kebaikan.
Kisah nya inspiratif bu keren ☺
BalasHapus